Menjadi Perhatian Jokowi dan Anies Baswedan, Lika-liku Warga Plumpang: Kedatangan Berujung Sengketa Lahan
Kebakaran Plumpang membuka berbagai cerita, salah satunya bagaimana warga yang tinggal dalam wilayah tersebut.
Mulai dari tak ada yang memperhatikan hingga akhirnya ada sosok yang mau turun tangan seperti Joko Widodo alias Jokowi hingga Anies Baswedan.
Sejumlah warga yang tinggal dalam wilayah tersebut adalah pendatang, salah satunya adalah Frengky Mardogan.
Pria paruh baya itu sudah 28 tahun menetap di kampung Tanah Merah, sejak 1995. Mulanya ia bersama keluarga mengontrak di salah satu rumah di sana.
Ketika itu Frengky belum punya Kartu Tanda Penduduk atau KTP. Ia baru memiliki KTP saat mau masuk ke perguruan tinggi. "Waktu itu KTP saya buat pas mau kuliah, itu pun menumpang di alamat saudara yang ada di Pondok Gede, Jati Asih," kata Frengky.
Tak hanya Frengky, hampir seluruh warga Tanah Merah saat itu tak memiliki KTP berdomisi di wilayah itu. Hampir semua warga ketika itu kasusnya sama seperti dia. Sebab wilayah itu belum tercatat secara administrasif oleh pemerintah daerah. "Dulu banyak kejadian, misalkan kayak meninggal akibat kecelakaan. Jenazah diantar ke alamat (kerabat) yang ditumpangi," ucap Frengky.
Permukiman warga di Tanah Merah ketika itu hanya berupa blok sebagai penanda. Pada 2013, saat Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta, warga mulai di data secara administrastif. Warga mulai memiliki alamat sesuai domisili.
Terjadi pemekaran RW, yang sebelumnya hanya tujuh RW, pada 2013 muncul empat RW baru di Rawabadak Selatan. Empat Rw baru itu untuk memfasilitasi warga di Tanah Merah.
Meski telah memiliki KTP sesuai dengan domisili, permasalahan warga Tanah Merah belum selesai. Mereka belum bisa mendapatkan suplai air bersih. Mereka tak memiliki kepastian mengenai kepemilihan lahan yang mereka tempati, masuk dalam kritaria zona merah bagi PDAM.
Dengan melajunya Jokowi ke kursi Presiden, membuat warga kampung Tanah Merah kehilangan payung. Pergantian kepemimpinan membuat mereka harus bersabar menunggu pimpinan berikutnya, berharap diayomi.
Ketika Anies Baswedan terpilih sebagai Gubernur DKI yang kemudian menepati kontrak politiknya. Anies memberikan IMB kasawan bagi warga. "Sebenarnya bukan IMB sementaranya. Kontrak komitmen politik saat itu melegalisasi lahan yang dianggap illegal. Itu yang masih saya ingat," ucap Frengky.
Anies pada saat itu memiliki komitmen politik dalam program 21 kampung prioritas dengan melegalisasi lahan perkampungan yang dianggap ilegal. "Salah satu bunyinya melegalisasi lahan-lahan yang dianggap illegal. Dianggap ilegal ya, bukan ilegal. Ini termasuk dari 21 kampung prioritas," tuturnya.
Baca Juga: Viral Memicu Bersih-bersih Jajaran Sri Mulyani, Rezim Jokowi Dikuliti: Hanya Formalitas...
Sejak saat itulah penduduk di sana bisa merasakan menjadi warga masyarakat. Sejak saat itu warga mendapatkan yang belum pernah diterima selama ini, seperti air bersih, jalan beraspal hingga drainase pembuangan atau got. "Sebelumnya di sini hujan dikit banjir, kami pada main tinggi-tinggian rumah. Tapi gak punya got, jalan juga rusak parah," ucapnya.
Saat itu, Anies menerbitkan IMB komunal untuk para warga. Mereka saat itu diberikan salinan IMB komunal tersebut sebanyak dua lembar. Lembar pertama merupakan izin mendirikan bangunan, kemudian pada lembar kedua, kutipan nama warga yang bertempat tinggal di sana. "Sifatnya seperti komunal per RT, nah dengan adanya IMB itu, akhirnya kampung kami bisa ditata," jelasnya.
Berbeda dengan Frengky, Sudirman (61) warga RW 01, Bendungan Melayu, Rawabadak Selatan, sudah menetap sejak 1984. Sejak pertama menetap di sana, ia sudah memiliki KTP beralamat sesuai domisili di kampung itu. Padahal RW itu jaraknya sangat dekat dengan Tanah Merah, yang hanya terpisah jalan.
Namun nasib keduanya sangat jauh berbeda. Jika Frengky yang baru memiliki KTP sesuai domisili pada era Jokowi memimpin DKI, Sudirman sudah 39 tahun punya KTP sesuai domisili.
Sudirman selaku LMK RW 01 mengungkapkan, sebanyak 90 persen warga RW 01 telah memiliki sertifikat hak milik, 10 persen lainnya dalam proses pengurusan. "Kalau secara total, kami itu sudah 100 persen bersertifikat. 90 persen saat ada program pemerintah, sedangkan 10 persen itu masih zona kuning," ucap Sudirman.
Zona kuning adalah pemilik lahan yang mengurus sertifikat masih terganjal dengan pemilik sertifikat lamanya. Sehingga jika ingin menerbitkan sertifikat baru, pemilik saat ini harus menelusuri pemilik sebelumnya.
Sudirman sendiri tidak mau ambil pusing soal pembuatan buffer zone atau zona penyanggah bagi Depo Pertamina dengan warga. Pun, jika terdampak relokasi, ia menerima saja dengan putusan tersebut agar tidak ada pihak yang dirugikan. "Kalau saya tidak punya pilihan, karena bagaimanapun masyarakat kita punya pilihan. Kalau itu suatu keputusan kebijakan pemerintah, yaitu pemerintah punya kuasa," ucapnya.
Namun jika dipaksa harus memilih antara relokasi Depo Pertamina, warga, atau pembuatan buffer zone. Ia tidak akan memilih ketiganya. "Kalau secara emosional saya bakal pilih A dan B misalnya. Saya legowo saja apapun kebijakan pemerintah."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: