Cerita Anggota Mensa Indonesia soal Anak Berkebutuhan Khusus: Terima, Fasilitasi & Hargai Prosesnya
Anggota Mensa Indonesia, analis politik, dan dosen paruh waktu Universitas Bakrie, Nurul Qomariyah menceritakan kondisinya yang sempat mengalami Sindrom Asperger. Menurutnya, ketika anak mengalami kondisi kebutuhan khusus, jangan langsung berkecil hati. Lantas harus bagaimana?
“Pertama, harus terima kondisi dulu. Terima keadaan bahwa anaknya seperti itu. Ketika anaknya dalam kondisi seperti itu, fasilitasilah anak sebaik mungkin. Setelah konsultasi, hargai proses perkembangan anak,” cerita Nurul saat diskusi Merangkul Keragaman Intelektual untuk Mencapai Visi Indonesia Emas 2045 oleh Mensa Indonesia di Jakarta pada Selasa (22/8/2023).
Nurul menjelaskan, Sindrom Asperger yang ia idap, termasuk jenis autis dengan tingkat fungsional tinggi, sehingga membuatnya kesulitan untuk bersosialisasi dan berkomunikasi secara efektif saat bersekolah. Alasannya, sindrom ini membuatnya tidak bisa membaca ekspresi wajah kawan bicara dan emosi.
Baca Juga: Mensa Indonesia Gandeng Kemendikbudristek & Kemenpora: Kami Saring Talenta & Bangun Mereka
“Kalau sekarang, saya sudah bisa karena latihan dan terapi,” tambahnya. Nurul melanjutkan, selama bersekolah, ia menggunakan banyak gaya belajar secara visual dan pola, baik itu membaca buku bergambar atau pun menonton video.
“Akhirnya orang tua mengajari saya cara untuk berkomunikasi dengan baik melalui buku-buku bergambar itu. Jadi saya tahu kalau misalnya mengobrol dengan orang, matanya harus menatap begitu,” jelas Nurul.
Tidak hanya didukung orang tua, Nurul juga mengikuti ragam konsultasi dan terapi okupasi. Ia melanjutkan, setelah berkonsultasi, perlu untuk menghargai proses perkembangan anak.
“Ikuti tahap-tahap perkembangannya. Jangan dipaksa untuk cepat. Jangan paksa anak untuk menjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” jelasnya.
Menurutnya, perkembangannya saat ini membuatnya bertahan hingga dapat berkarier sebagai analis politik di salah satu kantor konsultan politik dan dosen paruh waktu di Universitas Bakrie. Khususnya ketika bergabung di Mensa Indonesia, ia merasakan banyak perubahan baik.
“Sejak aku masuk, aku merasa banget kemampuan komunikasiku jauh lebih bagus karena diberi tahu teman-teman. Jadi akhirnya semacam ada supervisor begitu untuk ngasih tahu. [Dan] di Mensa orangnya macam-macam, kami suka tukar-tukaran koneksi dan pengetahuan,” kenangnya.
Didirikan sejak tahun 1946 dan memiliki anggota lebih dari 145.000 individu yang tersebar di Indonesia, Mensa berkomitmen untuk mengembangkan potensi intelektual manusia serta mematahkan stereotip kelas sosial yang memperkuat ketidaksetaraan.
Di Indonesia, Mensa hadir pada tahun 1991 yang didirikan oleh Thomas Hanatoha dan dua temannya. Baru-baru ini, Mensa Indonesia melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemedikbudristek) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Baca Juga: Mensa Indonesia Hadir dengan Wajah Baru, Rangkul Keragaman Kecerdasan Masyarakat Indonesia
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: