Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Krusialnya Code of Conduct Laut China Selatan, Indonesia Bisa Kendalikan China

        Krusialnya Code of Conduct Laut China Selatan, Indonesia Bisa Kendalikan China Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Para peneliti mengatakan bahwa perilaku agresif China di Laut China Selatan harus bisa dikekang melalui Code of Conduct (COC) yang ketat dan tegas di wilayah itu. Direktur Eksekutif Pusat Riset ASEAN Universitas Padjadjaran Bandung Teuku Rezasyah, Ph. D., mengatakan, situasi di Laut China Selatan dapat dikatakan sangat mencekam bagi negara kawasan, termasuk bagi Indonesia.

        Alasannya, kata Teuku, sembilan garis putus-putus atau nine-dash line baru saja berkembang menjadi 10 garis. Ini menerabas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan dekat Kepulauan Natuna.

        Baca Juga: PM China Usul ke Wapres Maruf Amin Buat Bangun Akademi Fokasi Tiongkok-Asean

        "Klaim wilayah oleh China yang ditandai garis putus-putus itu tidak ada menurut UNCLOS (Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut)," kata peneliti dari Universitas Padjadjaran itu, dalam seminar berjudul “Pedoman Tata Perilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan: Berkah Bagi China, ASEAN, atau Seluruh Kawasan,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI).

        "Klaim itu hanya berdasarkan catatan sejarah China, yang menganggap bahwa nelayan-nelayan mereka sudah mengunjungi wilayah tersebut sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu,” lanjutnya.

        Ia melanjutkan, selain tidak berdasarkan UNCLOS, klaim sembilan garis putus-putus juga tidak memiliki definisi yang jelas.

        "China memang sengaja mengaburkan agar terjadi kebingungan di kalangan negara-negara lain. Perlu dicatat bahwa China menganggap diri sebagai pusat dunia, sehingga negara-negara sekitar, termasuk Asia Tenggara, dalam anggapan China perlu dijadikan beradab. Mereka tidak boleh membuat kebijakan yang bertentangan dengan China,” jelas Teuku.

        Namun, menurut Teuku, seiring dengan meningkatnya kekuatan ekonomi China, negara tersebut malah menjadi semakin agresif.

        Dalam konteks inilah, lanjut dia, COC, yang pada intinya seruan untuk menahan diri, diupayakan untuk segera  terwujud.

        “Namun masih terdapat kesulitan-kesulitan, karena China meminta agar klaim mereka yang hanya didasarkan faktor historis semata, dan bukan berdasarkan UNCLOS, tetap dihargai,” ungkap dia.

        Teuku menekankan peran Indonesia yang sangat penting dalam upaya perwujudan COC di atas, meski dalam pandangannya jalan untuk COC betul betul terwujud sepertinya masih panjang. Namun ia mengatakan bahwa Indonesia perlu terus mempertahankan perannya, sebagai semacam juru bicara untuk isu isu yang berhubungan dengan Laut China Selatan, meski Indonesia nanti tidak lagi menjadi ketua ASEAN.

        Selain itu, peran diplomatik Indonesia itu perlu dibarengi dengan peningkatan nilai tawar kekuatan, antara lain dengan meningkatkan kredibilitas militer Indonesia.

        Baca Juga: Wapres: RI-China Bakal Perluas Kerja Sama Produk Halal hingga Pendidikan

        “Ini dapat dilakukan dengan memperbanyak latihan-latihan tempur dengan negara-negara yang lebih kuat,” tuturnya. Dalam pandangannya, latihan militer Garuda Shield atau Super Garuda Shield perlu dilanjutkan.

        Pembicara lain dalam seminar itu, Ristian Atriandi Supriyanto, mengatakan bahwa strategi China dalam konteks LCS adalah mempertahankan ambiguitas.

        “Misalnya, China seolah-olah menekankan dukungan pada percepatan COC, tetapi baru saja kesepakatan percepatan COC diumumkan, China malah meningkatkan ekskalasi dengan merilis peta baru yang di dalamnya tercantum 10 garis putus putus yang mengklaim sebagian besar LCS—termasuk sebagian ZEE Indonesia di perairan Laut Natun Utara—sebagai bagian dari teritori China,” tegas Ristian.

        Baca Juga: Pemulihan Ekonomi China Tak Sekuat Ekspektasi Pasar, Bagaimana Pengaruhnya terhadap Indonesia?

        “Sebelumnya, armada Penjaga Pantai China juga meningkatkan ketegangan dengan melakukan perilaku yang tak bertanggung jawab kepada kapal-kapal pembawa pasukan Filipina, di sekitar Second Thomas Shoal, yang berada di wilayah ZEE Filipina, dengan menyemperotkan air secara kuat kepada kapal-kapal Filipina itu,” terang Ristian.

        Meski mendukung upaya perwujudan COC yang diharapkan dapat mencegah ketegangan-ketegangan yang muncul di masa mendatang, Ristian juga khawatir bila COC yang terselesaikan justru mengakodomasi kepentingan-kepentingan China, sehingga China dapat berperilaku sewenang-wenang.

        “Bila China berhasil mengikat negara-negara ASEAN melalui COC agar tidak melibatkan negara di luar kawasan, maka China dapat bertindak sewenang-wenang karena ia merupakan aktor lebih kuat dari negara-negara ASEAN,” tuturnya.

        Itulah sebabnya Ristian menyatakan bahwa COC yang asal jadi harus ditolak. “COC yang terwujud tidak boleh terlalu lembek, tetapi harus bisa mengekang prilaku agresif China,” katanya.

        Johanes Herlijanto, Ketua FSI yang juga dosen ilmu komunikasi Universitas Pelita Harapan, mengaminkan pernyataan Ristian di atas. Johanes mengapresiasi kesepakatan negara-negara ASEAN dan China untuk mempercepat penyelesaian COC di LCS.

        Namun demikian, ia menekankan pentingnya COC yang dihasilkan untuk tetap berlandaskan UNCLOS dan mencerminkan sikap dan kepentingan negara-negara ASEAN, khususnya negara-negara yang bersinggungan dengan klaim China di LCS.

        Menggemakan kembali hasil diskusi dengan Ristian, Johanes mengatakan bahwa penting bagi negara-negara ASEAN untuk memastikan agar China tidak menjadikan COC sebagai alat legitimasi bagi klaim 10 garis putus-putusnya.

        “Sebaliknya, setiap negosiasi harus tetap menekankan penolakan klaim wilayah China yang ditandai oleh 10 garis putus-putus tersebut,” pungkasnya.

        Menurutnya, negara-negara ASEAN juga harus menolak bila China bersikeras untuk memasukan klausul yang membatasi kebebasan negara-negara ASEAN dalam memilih partner kerja sama untuk melakukan eksploitasi ekonomi di wilayah ZEE mereka.

        “ZEE negara-negara ASEAN sah menurut UNCLOS, oleh karenanya masing-masing negara berhak menentukan akan kerja sama dengan pihak mana pun, dan tidak boleh diintervensi oleh China,” tuturnya.

        Baca Juga: Tak Cuma Ekosistem Halal, Wapres Ma'ruf Amin Dorong Generasi Muda Tuntut Ilmu Sampai China

        Setiap pembicara dalam seminar sama sama sepakat bahwa masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab sebelum COC terwujud. Salah satunya adalah bagaimana cara penegakan hukum dan pihak mana yang berwenang melakukan penegakan hukum bila terdapat pihak yang melakukan pelanggaran terhadap COC yang sudah disepakati.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: