Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sambut Nataru, CEO JumpStart Ungkap Strategi Kejar Pertumbuhan Bisnis dan Ekspansi

        Sambut Nataru, CEO JumpStart Ungkap Strategi Kejar Pertumbuhan Bisnis dan Ekspansi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Perusahaan rintisan (startup) pionir mesin kopi pintar dan pengembang teknologi ritel pintar, JumpStart Indonesia terus berinovasi dan mengekspansi usahanya ke berbagai kota. CEO JumpStart Indonesia, Brian Imawan mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 2.600-an unit mesin pintar yang sudah tersebar di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Malang, dan Bali, dan rencananya akan “membuka cabang” di Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Ia menambahkan, akhir tahun 2023, pihaknya akan menyebarkan 3.300 unit mesin pintar. 

        Warta Ekonomi berkesempatan mewawancarai Brian di kantor pusat JumpStart Indonesia di Permata Hijau, Jakarta Selatan pada Selasa (3/10/2023). Berikut wawancara lengkapnya. 

        Baca Juga: Garap bisnis ‘clean beauty retail’ di Indonesia, Venture Builder East Scandi Group luncurkan Glassy

        Sebagai pendiri atau founder JumpStart, motivasi apa yang terpikirkan untuk membangun perusahaan rintisan ini?

        Dulu terpikir itu 2016, sewaktu masih kerja di Kuningan. Zaman dulu masih belum ada startup ride hailing, masih ada 7 Eleven. Jadi pagi-pagi udah mesti sampai sana. Jauh pokoknya, ada di tiga gedung sebelah. Saya jalan, kopinya sudah panas kan, sampai kembali ke kantor, kopinya sudah dingin

        Akhirnya kami kepikiran, kalau ada [mesin kopi/smart machine] di kantor, boleh ini. Kalau misalkan karyawan gratis, sepertinya kan susah disetujui ya. Jadi kami tanya, boleh enggak mesinnya ada di kantor, kami beli sendiri, dari kantor enggak keluar apa-apa. Akhirnya ya boleh. Terus kami mulai coba beberapa mesin. Ternyata lumayan begitu untuk penggunaannya. 

        Karena kami lihat kan, kalau di sini itu enggak kayak di luar negeri. Kalau di luar negeri, [seperti] di Singapura, kita bisa jalan kaki, naik MRT. Jadi gampang sekali untuk bertemu minimarket. 

        Kalau ini kan, walaupun sebenarnya convenience store, enggak begitu nyaman juga. Sudah tetap sibuk diburu macet, terus nanti telat begitu. Jadi kami merasa, kalau di kantor, sepertinya nyaman sekali, dan kami lihat kesempatannya di sana. Begitu awalnya. 

        Industri mesin smart coffee atau smart vending machine ini potensial di Indonesia. Tapi di kondisi makroekonomi yang tidak pasti, bagaimana pandangan JumpStart? 

        Ketika awal COVID-19, kami semua jatuh hampir 80%-90%. Tapi pada akhirnya kami coba assess kira-kira apa kekuatannya kami, apa kesempatannya kami. Akhirnya kami bisa pindahkan dulu mesinnya, kami pindah ke sektor yang lebih esensial seperti pabrik. Kan pabrik enggak boleh tutup ya di masa pandemi. Kami relokasi ke sana dulu. 

        Kami enggak pernah merasa convenience store itu saingan kami, enggak. Jadi ini saling melengkapi. Pasarnya masih ada, yang penting ada produk yang ditawarkan. 

        Kami fokus di produk berkualitas. Produk kopi, tapi dari mesin pun harus berkualitas bagus. Mulai dari bahannya, dari kontrol kualitas (QC) sebulan sekali, seharusnya sama seperti yang ada di coffee shop kualitas produknya.  

        Beberapa waktu lalu JumpStart mendapatkan penghargaan di ajang Asian Technology Awards tahun ini, apa yang membuat perusahaan menonjol sampai bisa go-international di penghargaan itu? 

        Kami percaya kepada spirit. Pertama begini, kalau di luar negeri, vending machine itu yang punya dan yang menyebarkan itu pabrik-pabrik besar. Jadi barang-barang yang dijual di dalam pasti barang dari mereka, enggak boleh barang orang lain. 

        Kalau kami lihat kan ambil dari pabrik. Kami melihat Ini sebagai sebuah toko, sebuah platform. Tadi kan idenya ingin barangnya yang lebih unik, yang lebih jarang ditemukan lah, sehingga orang-orang tuh ingin begitu. 

        Sekarang memang besar e-commerce. Seperti Anda tahu kan e-commerce juga persaingan cukup tinggi. Padahal ada banyak produk-produk lokal yang kualitasnya tuh sudah bagus, hanya saja ya begitu, persaingan tinggi. Mereka juga mau masuk ke minimarket, enggak sanggup kan? Biayanya mahal sekali begitu.

        Makanya kami berpikir, ya sudah bagaimana kalau kita kolaborasi, jual produk di vending machine, bisa kurasi dari UMKM ini. Dan ternyata setelah kami coba kreasi dan kolaborasikan sedikit-sedikit, lumayanlah. Penjualannya juga bisa meningkat, dari kami juga meningkat, dari UMKM-nya juga meningkat. Jadi kami tahu ini kayaknya sinergi yang cukup baik juga. 

        In a way, dulu kita, ngapain highlight produk luar negeri terus kan? 

        JumpStart ini punya vending machine yang terletak di lokasi strategis di kota besar, dan membantu UMKM mengurangi biaya operasional dan pemasaran, berapa persen pengurangannya? Dan di Semester 1 tahun 2023 ini, seperti apa progres, dan di mana saja lokasi yang dijangkau hingga leverage produk UMKM? 

        Kalau dari UMKM-nya sendiri, beberapa waktu itu kalau yang kami dengar, mereka tinggal kirim bahan bakunya ke gudang kami saja. Mereka itu enggak terlalu-terlalu repot mesti drop off ke toko. Mereka tinggal sekali kirim, kami yang atur. Mereka juga enggak kami charge seperti biaya listing di minimarket, mungkin per toko aja sudah berapa juta. Jadi, mungkin untuk masuk ke 1.000 toko sudah butuh beberapa miliar.

        Kalau waktu itu kami masukkan ke 1.000-an mesin juga enggak ada biaya seperti itu. Mungkin kami bisa kerjasama promosi bareng, jadi selling-nya lumayan ya harusnya. 

        Kami lihat kemarin dari vending machine ini lebih menjangkau orang dan orang bisa langsung mencoba. Kalau misalkan beli di e-commerce, kadang-kadang mesti menunggu kan malas, inginnya sekarang, supaya mereka bisa langsung coba. Setelah mereka coba, mereka bisa lanjut beli di e-commerce untuk varian rasa lainnya. Jadi kami sepertinya selalu berkesinambungan seperti itu. 

        Kalau untuk pengembangan sendiri, memang tahun 2023 ini, kami masih perbanyak di Pulau Jawa dulu. Karena masih banyak sekali sebenarnya lokasi yang bisa kami deploy untuk masing-masingnya. Mungkin tahun depan kami bisa ke luar kota juga, seperti yang kami sedang kerjakan yang mungkin di Ibu Kota Negara (IKN), bekerja sama dengan kementerian atau pemerintahan, atau di kota -kota besar lain seperti Medan, Makassar. Itu lagi kami pelajari. 

        Untuk UMKM sendiri pun, kami sedang ingin bekerja sama misalkan dengan Kemenparekraf, atau mungkin organisasi-organisasi lain, di mana mereka bisa membantu untuk membina UMKM ini juga. Karena kan sebenarnya UMKM ini enggak hanya jualan, tapi mungkin perlu dibina dari segi ada PRT-nya, ada halalnya, bagaimana cara daftarnya, pengemasannya, lalu step-by-step-nya, mungkin pendanaannya. Kami sedang coba membuat satu program dengan partner

        Pendanaan terakhir, JumpStart ada di putaran Seri B dari Cool Japan Fund dan Living Lab Ventures, berapa pendanaanya? Dari pendanaan ini, bertujuan untuk ekspansi ke luar negeri, targetnya ke negara mana saja?

        Baca Juga: Kengembangkan Ekonomi Syariah, Allianz Syariah Fokus ke Bisnis Asuransi Syariah

        Kalau kemarin masih ada penambahan jumlah mesinnya. Karena sebenarnya dapat cukup banyak permintaan, tapi waktu itu kami kurang dari segi jumlah mesinnya. Nah yang lumayan, waktu itu kami masih ada untuk penambahan mesin dan juga kami masih lebih [fokus pada] pengembangan [program smart machine]. Programnya yang ingin kami ubahkan lagi. Kedepannya lebih ke itu, dan pendanaan Seri B kemarin US$10 juta (Rp154 miliar) yang diberitakan. 

        Dari 2.000 mesin kopi pintar dan vending machine di kota-kota besar seperti Bandung, Jabodetabek, Surabaya, Malang Bali dan lainnya, apakah akan bertambah ke Indonesia Timur? 

        Sejujurnya kami belum sempat kesana. Jadi kami tahunya, kalau kota besar yang mungkin Lombok, itu juga misalkan, Makassar, lebih ke kota-kota dulu seperti Manado. 

        Baca Juga: Komitmen Jalankan Bisnis Berkelanjutan, Peruri Raih Penghargaan ESG Disclosure Transparency Award 2023

        Kami belum sempat untuk pelajari detail, tapi memang kami berharap bisa masuk ke kota-kota itu. Kalau UMKM, karena kami juga bukan warga sana, kami juga kurang paham. Nah kalau misalnya ada partner lokal, kadang-kadang kan perbankan juga punya Divisi UMKM-nya. Nah ke depan kami akan coba konsultasi ke mereka. Sebenarnya siapa sih ini yang bisa bareng-bareng kita semua kolaborasikan. Itu ke depannya. 

        Tantangan industri F&B, selain kondisi makroekonomi, juga daya beli masyarakat yang sedang rendah, bagaimana JumpStart mengakali hal ini? 

        Kami selalu coba kombinasikan data, kami mengobrol juga dengan pelanggan. Kalau dari kami ya, kami fleksibel. 

        Misalnya dari mesinnya itu produk yang ada di rumah sakit, ada di pabrik, itu bisa beda produknya, karena kan kebutuhannya beda. Kalau di pabrik, apakah mereka lebih terjangkau, atau kalau misalkan di rumah sakit untuk yang lebih sehat begitu. Itu memang kami sesuaikan juga seperti itu. Kami tanya juga ke pelanggan, kira-kira minatnya pada produk apa.

        Jadi, dari situ dan kami kurasikan produknya. Sama mestinya, dan kadang-kadang juga ada trennya, mungkin lagi trending rasa ini, atau mungkin lagi trending topik ini, jadi mungkin ya dari UMKM yang mau produksi bisa coba dibuat variasinya seperti itu. 

        Kondisi pandemi lalu membuat Jumpstart menurun performanya hingga 80-90%, lantas bagaimana progres saat ini? 

        Pas pandemi, kami masih punya sekitar 400-an mesin. Karena kami merasa, ya tetap harus lanjut, karena ada tim, bagaimana pun sudah seperti keluarga kami. Terus kami cari akal. Makanya mesin kami sekarang sudah bisa bertambah, yang 2000-an. 

        Sekarang kan kantor-kantor, karyawannya sudah banyak yang kembali lagi ke kantor. Jadi kami mulai kembali juga ke lokasi-lokasi yang dulu kami keluar sementara, seperti di bandara. Dulu kan kami juga ada, terus kami keluar dulu, sekarang kami sudah mau masuk lagi. Jadi sudah membaik, sudah kembali sebelum pandemi. 

        Soal profit, memang sebagai startup, kami prinsipnya harus tetap kejar profitabilitas. Tahun lalu kami berhasil untuk meraih itu, memang positif secara EBITDA. Kami targetnya memang tetap mau menjaga tren positifnya EBITDA, hanya saja mungkin kami memang harus invest untuk ekspansi lagi. 

        Selain makroekonomi, startup juga sedang banyak PHK atau layoff, kira-kira bagaimana cara JumpStart untuk memaksimalkan tenaga kerja dan tetap imbang antara kondisi perusahaan dengan karyawannya? 

        Kalau dari kami, mungkin karena vending machine ini otomatis, jadinya lebih sedikit juga tenaga kerja yang dibutuhkan. Sambil kemarin kami coba bertumbuh, kami fokus di satu hal. Mungkin kan kadang-kadang memang sebagai startup banyak yang dicoba, akhirnya kemarin ya kami pikir ya sudah deh fokus saja untuk penyebaran mesin dulu, Jadi timnya pun ya kami fokuskan.

        Kami prinsipnya, semua juga harus turun tangan, sampai kami pun direktur juga harus turun tangan cari klien, dikerjakan bareng-bareng. 

        Mungkin dengan penambahan mesin itu, tim kami bisa dialokasikan ke daerah lain. Kami buka wilayah Surabaya, kami buka wilayah lain, Kami coba misalkan upgrade talent yang sudah ada di internal. Itu memang prinsip kami. 

        Jadi, daripada kami selalu buka perekrutan baru atau hiring, kami coba bagaimana yang di internal. 

        Jadi seperti pegawai yang handle gudang kami di Surabaya, dulu juga mulainya itu dari informal, masih pegawai gudang, mungkin ngangkat-ngangkat barang begitu. Tapi sekarang dia menjadi kepala gudang di Surabaya. Dia mau belajar juga, kami memberikan kesempatan juga.

        Belakangan Kementerian Ketenagakerjaan, menyinggung soal teknologi AI. Sementara JumpStart sendiri menggunakan AI dalam teknologinya. Boleh dielaborasikan bagaimana tim bekerja selangkah lebih maju dari AI dan ada sentuhan manusia untuk mengoperasikan bisnis?

        Kami selalu merasa AI ini agak sepenuhnya menggantikan pekerjaan juga, hanya saja kami memang merasa bahwa AI ini mau enggak mau harus kami lakukan untuk bisa mengelola mesinnya. Karena untuk mengelola, mungkin 50 mesin dan ribuan mesin agak berbeda. Enggak mungkin semuanya manual lagi, karena enggak ada yang sanggup. 

        Nah kami menggunakan AI ini memang untuk lebih mengatur rutenya, kapan mesin ini harus diisi, kalau misalkan ada yang urgent ya mungkin harus ada yang diganti rutenya. Jadi kami lebih di situ.

        Tapi kalau dari kami, tim masih diperlukan untuk pengoperasian mesinnya, untuk review mesinnya, itu masih diperlukan. 

        Kami merasa justru dengan AI ini, sebenarnya tim kami jadi lebih upgrade skill. Misalnya daripada selalu manual, kalau sekarang dari sini, oh dia tahu bisa seperti ini. Dan justru kami minta mereka yang mengembangkan, bisa enggak dibuat seperti ini, bisa enggak dibuat seperti itu, biar kerjanya lebih efektif lagi, lebih semangat lagi.

        Pesan terakhir untuk industri F&B yang bergerak di mesin pintar dan UMKM F&B? 

        Kami juga dulu mulai kan pasti dari awal ya, dua mesin. Menurut kami, selalu berpikiran terbuka atau open minded. Kami selalu, coba saja kreatif, kami terus coba hal baru dan konsisten juga. 

        Baca Juga: Pentingnya Brand Equity dalam Strategi Membangun Bisnis Jangka Panjang

        Bagaimana pun juga ya mungkin satu, dua, tiga bulan belum keliatan hasilnya, tapi kami konsisten. Kami yakin hal-hal seperti ini bisa. Kalau misalnya nanti belum berhasil, kami juga banyak sebenarnya belajar dari kegagalan-kegagalan yang misalnya, kami tahu mesinnya dimana kurangnya, kami coba pelajari terus.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Nadia Khadijah Putri
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: