Executive Co-Captain Tim Nasional (Timnas) Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), Sudirman Said buka suara tentang anggapan hak angket mampu memicu pergolakan seandainya digulirkan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sudirman menilai, tanpa digulirkannya hak angket gejolak atas dugaan kecurangan dalam perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) pun sudah terjadi.
Baca Juga: Kunci Media Sehat, Forum Pemred Apresiasi Jokowi Soal Publisher Rights
"Jadi tidak bisa dipandang karena hak angket terjadi satu gejolak, tidak. Gejolak sudah terjadi akibat tindakan-tindakan yang menubruk norma, menubruk kepatutan, menubruk hukum," kata Sudirman dalam konferensi persnya di kawasan Melawai, Jakarta, Jum'at (23/2/2024).
Sudirman pun mengibaratkannya sebagai sebuah keluarga dengan satu anggotanya yang bertindak di luar kepatutan. Dalam prosesnya, tutur dia, penindakan atas penyelewengan dilakukan untuk mengetahui dasar tindakan itu dilakukan.
Sudirman menilai, anggapan terjadinya gejolak akibat hak angket sebagai kesesatan dalam berpikir. Pasalnya, hak angket digulirkan untuk mengetahui penyebab adanya tindak kecurangan.
"Jadi itu satu cara pandang yang salah pikir, sesat pikir menurut saya. Karena yang menjadi masalah kan penyebab dari munculnya inisiatif untuk menggunakan hak angket, bukan hak angketnya sendiri," ungkapnya.
Sudirman menilai, digulirkannya hak angket justru untuk mencari kesimpulan baik dan buruk suatu tindakan. Menurutnya, hak angket mampu mencapai kestabilan.
Baca Juga: Kunjungi Markas PKS, Anies Bahas Pertemuan Surya Paloh dan Jokowi
"Bahwa hak angket malah bisa menjadi pintu kepada kestabilan politik, karena di sana akan diungkap mana yang benar mana yang salah, mana yang harus diberi sanksi dan sebagainya," tandasnya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara, Yusri Ihza Mahendra mengaku khawatir seandainya hak angket digulirkan untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Yusril menilai, pemakzulan Jokowi membawa Indonesia dalam jurang kehancuran. Di samping itu, dia juga menilai proses pemakzulan memakan waktu yang relatif panjang.
"Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan berakhir dengan pernyataan pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril, Kamis (22/2/2024).
Baca Juga: Tuntas Sesuai Target, 2 Proyek Garapan PT PP Diresmikan Langsung oleh Presiden Jokowi
Pun, pernyataan pendapat yang diberikan DPR harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), seandainya disetujui MK, maka DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR. Sampai situ prosesnya belum selesai, tergantung pada MPR mengabulkan atau tidak.
"Proses ini akan berlangsung berbulan-bulan lamanya, dan saya yakin akan melampaui tanggal 20 Oktober 2024 saat jabatan Jokowi berakhir," jelasnya.
Sementara terkait sengketa Pemilu, Yusril menilai kurang tepat menindak ketidakpuasan terhadap hasil Pemilu melalui hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat untuk menagih pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurutnya, sengketa Pemilu mestinya diajukan melalui proses persidangan MK. Yusril menuturkan, keberadaan hak angket diatur dalam pasal 20A ayat (2) UUD 1945.
Aturan itu mengatur fungsi DPR dalam urusan pengawasan yang tidak spesifik, tetapi bersifat umum. Ketentuan lebih lanjut tentang hak angket dituangkan dalam undang-undang, yakni undang-undang yang mengatur DPR, MPR dan DPD.
Baca Juga: Resmikan Makassar New Port, Jokowi Yakin Biaya Logistik Kian Efisien
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu, dalam hal ini Pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak. Karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil Pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: