Kemarin (Senin, 17/06/24), saya telah menulis agar publik mewaspadai situs baru yang disebut-sebut "milik pemerintah" dan diproyeksikan akan menggantikan platform X/Twitter milik miliarder terkenal asal AS, yang baru saja juga disebut-sebut "nge-Prank" Indonesia dengan investasi StarLink-nya sebesar 30 miliar saja. Padahal sebelumnya digadang-gadang akan membawa proyek peluncur roket Space-X, pabrik mobil EV Tesla ke Indonesia, atau minimal industri baterai mobil listriknya.
Harapan publik (baca: rezim pemerintah ini) sudah sangat besar terhadap sosok unik Elon Musk. Bagaimana tidak? Presiden Jokowi saja sempat sowan ke dirinya di Amerika di lokasi Space-X, kemudian karpet merah digelar saat acara WWF (World Water Forum) di Bali untuk menyambut dia dan StarLink-nya. Ternyata "mak plekenyik" (dalam istilah Jawa), investasinya hanya segitu sebagaimana disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia di depan DPR minggu lalu.
Tidak bisa disalahkan jika muncul dugaan netizen bahwa rencana penutupan platform X/Twitter dengan alasan "pornografi" dilandasi ketidaksenangan akibat sikap Elon Musk tersebut. Meskipun alasan yang digunakan cukup masuk akal untuk melindungi generasi muda Indonesia ke depan, cara menutup total platform tanpa memisahkan bagian positif dan negatif alias "hantam kromo" ini kurang bijak dan kurang cerdas.
Padahal, sudah dibiayai perangkat cerdas senilai Rp200 miliar sejak akhir 2017 bernama AIs machine yang bisa melakukan crawling untuk memilah dan memilih konten yang bisa direkomendasikan untuk diperingatkan, ditutup, atau tetap dibuka untuk masyarakat. Menutup total platform adalah solusi termudah bagi yang berpikiran pendek tanpa repot berpikir lebih lanjut.
Baca Juga: Lagi, Argumen Lucu Dikeluarkan Pihak KPU di Sidang KIP
Solusi setelah penutupan juga tidak sederhana. Ibarat pelarangan pembuangan sampah di berbagai kota di Indonesia akibat krisis TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Seperti yang terjadi di Bandung, Jakarta, Jogja, dan kota lain, publik tidak bisa hanya dilarang begitu saja setelah TPA ditutup. Akibatnya, masyarakat membuang sampah di berbagai tempat tanpa bisa dikendalikan, mirip dengan penutupan lokalisasi di berbagai kota yang malah menyebar dan makin berbahaya.
Apakah setelah platform X/Twitter ditutup total, masyarakat akan langsung beralih ke website "Elaelo" yang disebut sebagai pengganti resmi versi pemerintah? Publik harus diyakinkan bahwa layanan pengganti tersebut benar-benar aman dan layak digunakan, bukan malah menimbulkan masalah baru, seperti kebocoran data pribadi yang sering terjadi pada layanan publik sebelumnya.
Saat website Elaelo dengan domain elaelo.id (bukan elaelo.go.id sebagaimana lazimnya layanan milik pemerintah) masih bisa diakses dan belum berupa countdown timer seperti sekarang, pengunjung diharuskan memasukkan user ID dan password tanpa konfirmasi pilihan atau opsi cookies. Ini rawan dan memprihatinkan karena kebanyakan orang menggunakan user ID dan password yang sama untuk berbagai layanan, sehingga memungkinkan terjadinya hacking, phishing, dan aksi cybercrime lainnya.
Baca Juga: Setali Tiga Uang, StarLink 'Hanya' Tiga Puluh M, Alias Tiga Kali Prank
Publik makin geleng-geleng kepala (tetapi bukan berdzikir sebagaimana filosofi lagu tradisional "sluku sluku bathok" yg sudah saya tulis sebelumnya, yang menggunakan kata-kata "bathok-e ela elo") setelah melihat "sosok siapa" di balik PT Aksara Data Digital yang mendaftarkan domain tersebut. Bukan nama resmi Menkominfo atau pejabat di Kemenkominfo, melainkan seseorang bernama Rendy Maulana Akbar, seorang pengusaha swasta kelahiran 10/07/87 (37 tahun) yang merupakan pendiri PT Qwords Company serta ketua Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI) dan chairman Indoglobit.
Jika nantinya Kemenkominfo meresmikan Elaelo ini sebagai layanan resmi pengganti platform X/Twitter, seharusnya diumumkan juga bagaimana sejarahnya sebuah perusahaan swasta bisa memperoleh hak eksklusif tersebut. Apakah ada tender atau semacam beauty contest yang diumumkan terbuka melalui website resmi Kominfo? Kapan dan bagaimana proses seleksinya? Publik berhak tahu sesuai UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) No. 14/2008.
Jangan sampai masyarakat dibuat bingung atas ketidakjelasan mekanisme tersebut, apalagi jika ternyata situs yang berani mencantumkan lambang negara Garuda Pancasila ini nge-prank juga. Jika banyak netizen yang sudah login dan memasukkan data pribadi, rezim ini yang akan kembali kebingungan jika diminta pertanggungjawaban seperti dulu saat terjadi kebocoran data, karena tidak bisa berbuat apa-apa selain mengelak sana-sini seperti biasa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat