Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Ironi Kejayaan Industri Kelapa Sawit Indonesia, Akankan Segera Berubah?

        Ironi Kejayaan Industri Kelapa Sawit Indonesia, Akankan Segera Berubah? Kredit Foto: Antara/Yudi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sejak tahun 2006 silam, Indonesia berhasil menjadi produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di Indonesia. berdasarkan data dari United States of Departement Agricultural (USDA), pangsa Indonesia dalam produksi minyak sawit dunia mencapai 59% sedangkan dalam konsumsinya mencapai 25%. Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peran strategis dalam pasar minyak sawit dunia.

        Akan tetapi, di lain sisi masyarakat perkebunan sawit bahkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan harus menghadapi beberapa ironi sebagai implikasi dari strategisnya peran Indonesia dalam sektor sawit tersebut. 

        Baca Juga: Ide Mutiara: Paradigma Berfikir Holistik Menyelamatkan Industri Sawit

        Dikutip dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Jumat (13/12/2024), ironi tersebut adalah

        Pertama, masyarakat perkebunan sawit dan masyarakat pedesaan di sentra sawit harus membayar minyak goreng dengan harga yang jauh lebih mahal bahkan aksesnya relatif terbatas atau langka. Minyak sawit yang dihasilkan dari perkebunan sawit dan pabrik kelapa sawit/PKS pun terletak di kawasan pedesaan di daerah pinggir.

        Sementara itu, pabrik minyak goreng berlokasi di luar sentra produksi minyak sawit kawasan pedesaan. Banyak pabrik minyak goreng terletak di wilayah perkotaan yang biasanya dekat dengan pelabuhan bahkan terletak di luar provinsi sentra sawit seperti Jawa Timur, Jawa Barat dan DKI Jakarta.

        Selain itu, produksi minyak goreng sawit yang berada di luar kawasan sentra sawit membuat masyarakat sentra sawit harus membayar produk dengan harga yang jauh lebih mahal sejalan dengan biaya transportasinya yang juga tinggi. Hal ini menjadi sebuah ironi bagi Indonesia, yang notabenenya negara ini dikenal sebagai produsen bahan baku minyak goreng.

        Kedua adalah masih tingginya angka stunting di Indonesia. Stunting adalah kondisi balita yang tumbuh dengan tubuh pendek serta rendahnya fungsi kognitif yang disebabkan lantaran kekurangan vitamin A.

        Baca Juga: Kementerian Keuangan Sebut Pungutan Ekspor Sawit Melamban 18,6 Persen

        Pemerintah Indonesia menaruh atensi serius pada stunting mengingat dampak jangka panjangnya yang mengancam produktivitas dan daya saing, menghambat pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kemiskinan bahkan memperlebar ketimpangan.

        Ironi lainnya adalah berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tingkat stunting tertinggi berasal dari enam provinsi sentra sawit. Keenam provinsi tersebut adalah Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

        “Kondisi tersebut menjadi sebuah ironi karena tingkat stunting di masyarakat sentra sawit relatif tinggi, padahal kebun sawit merupakan lumbung vitamin A, vitamin E yang bermanfaat bagi kesehatan manusia, termasuk mencegah penyakit stunting,” kata PASPI. 

        Baca Juga: Ide Menyelamatkan Industri Sawit Nusantara dari Universitas Indonesia

        Ironi ketiga adalah tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor vitamin A dan E. salah satu bentuk intervensi pemerintah Indonesia dalam mengatasi tingginya angka stunting yakni dengan pemberian vitamin A baik secara oral seperti yang dilakukan di posyandu atau puskesmas, maupun melalui penambahan vitamin A pada bahan makanan.

        Kedua strategis tersebut, secara tak langsung memiliki implikasi terhadap kian besarnya kebutuhan vitamin A dalam negeri. Maka dari itu, untuk memenuhi besarnya kebutuhan dalam negeri, Indonesia harus mengimpor vitamin A dari berbagai negara. 

        “Tercatat selama periode tahun 2011-2022, nilai impor vitamin A mengalami peningkatan signifikan yakni dari US$10.26 juta menjadi US$26.80 juta. Demikian juga dengan volume impor yang meningkat dari 341 ton menjadi 547 ton pada periode yang sama,” ungkap PASPI.

        Tak hanya impor vitamin A, Indonesia juga banyak mengimpor vitamin E hanya untuk memenuhi besarnya kebutuhan beberapa industri seperti pangan, farmasi, bahkan kosmetik. Selama periode tahun 2011-2022, nilai vitamin E yang diimpor Indonesia relatif besar dan juga mengalami peningkatan yakni dari US$19.71 juta menjadi US$33.87 juta.

        Membengkaknya nilai impor vitamin A dan E tentu saja membebani devisa neraca perdagangan Indonesia. Selain terbebani oleh besarnya devisa impor, ketergantungan Indonesia terhadap vitamin A dan E impor juga berpotensi sensitive terhadap instabilitas pasokan dan harga. Kondisi tersebut cukup ironis. 

        Baca Juga: SNV Indonesia dan Mitra Terapkan Perkebunan Regeneratif untuk Kelapa Sawit

        “Indonesia mengimpor Vitamin A dan E yang meningkat setiap tahunnya. Padahal perkebunan sawit Indonesia berpotensi menghasilkan vitamin A dan E yang dapat memenuhi kebutuhan domestik,” pungkas PASPI.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: