Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Situasi geopolitik dan ekonomi global kembali memanas seiring langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memicu babak baru perang dagang melalui kebijakan tarif impor. Di tengah ketidakpastian ini, Indonesia dinilai berada dalam posisi rentan, terutama di sektor keuangan.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, memperingatkan bahwa pemerintah perlu mengantisipasi dampak serius dari sisi kebijakan fiskal dan moneter.
Ia menegaskan bahwa meski sasaran utama perang dagang adalah China, Indonesia tetap bisa terkena imbas langsung maupun tidak langsung.
"Surplus perdagangan Indonesia terhadap Amerika memang tidak sebesar China, tapi tetap saja dianggap mengganggu oleh Trump, dan itu bisa menjadi alasan untuk menerapkan tarif," ujar Eko dalam diskusi publik bertajuk Perang Dagang dan Guncangan Pasar Keuangan, Kamis (17/4/2025).
Baca Juga: Lebih Parah dari Krisis 2018, Indonesia akan Rasakan Dampak Tarif Trump di Kuartal II
Eko menyoroti depresiasi rupiah yang telah mencapai 8% dalam setahun terakhir sebagai alarm awal dari guncangan sektor keuangan domestik. Dibandingkan Malaysia atau Thailand, pelemahan rupiah dinilai lebih dalam dan perlu diwaspadai.
“Kita sudah terdepresiasi sekitar 8% dalam setahun. Ini alarm yang tidak bisa diabaikan begitu saja,” tegasnya.
Lebih lanjut, Eko menjelaskan bahwa pasar keuangan global saat ini mulai meragukan arah kebijakan ekonomi Trump. Investor global disebut lebih memilih aset aman seperti emas, yen Jepang, atau franc Swiss dibandingkan obligasi AS.
“Ini menunjukkan bahwa pasar tidak sepenuhnya percaya dengan kemampuan kebijakan Trump untuk memulihkan ekonomi AS,” katanya.
Di dalam negeri, Eko mendorong Bank Indonesia untuk lebih memprioritaskan stabilitas ketimbang pertumbuhan. Ia menilai, tanpa kestabilan nilai tukar dan kepercayaan pasar, ruang pertumbuhan akan menyempit.
“Langkah-langkah moneter yang menitikberatkan pada stabilisasi harus lebih diutamakan ketimbang sekadar mendorong sektor perumahan atau proyek-proyek pertumbuhan,” ujarnya.
Baca Juga: Rupiah Tertekan Tarif Trump, Pemerintah Gak Usah Ngayal Target Pertumbuhan Ekonomi 8%
Eko juga menyarankan pemerintah untuk memperkuat kerja sama perdagangan regional, terutama di kawasan ASEAN, guna mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika dan China.
"Kita terlalu sering bersaing satu sama lain di ASEAN, saatnya bersatu memperkuat solidaritas ekonomi kawasan," katanya.
Ia menambahkan, pemerintah perlu lebih realistis dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi agar tidak kontraproduktif.
“Jangan sampai target terlalu ambisius tanpa peta jalan yang jelas. Itu bisa bikin pelaku usaha bingung, akhirnya malah menunda ekspansi atau memindahkan investasinya ke tempat lain,” ucapnya.
Eko menegaskan bahwa perang dagang bukan sekadar isu ekspor-impor atau diplomasi dagang.
“Ketika pasar uang terguncang dan ekspektasi ekonomi melemah, yang paling terdampak justru adalah sektor keuangan, yang jadi jantung perputaran ekonomi domestik,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri