Kredit Foto: Mochamad Ali Topan
Kebijakan pemerintah dalam pengenaan tarif cukai rokok elektrik di Indonesia mulai mendapat sorotan, terutama dari Perkumpulan Produsen E-Liquid Indonesia (PPEI).
Menurut Ketua Umum PPEI, Daniel Boy Purwanto, kebijakan tarif cukai rokok elektrik dianggap memiliki ketimpangan yang dinilai menghambat pertumbuhan industri, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Berdasarkan data internal PPEI, adanya kebijakan itu menyebabkan penurunan drastis jumlah produsen e-liquid aktif di Indonesia—dari sekitar 300 menjadi hanya 170 dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: PHK Massal Mengintai, Bupati Karawang dan Kudus Desak Moratorium Cukai Tembakau
Menurutnya, beban tarif yang tinggi membuat banyak pelaku usaha kecil tidak mampu bertahan, sehingga banyak yang menutup usaha dan bahkan mengurangi lapangan kerja.
"Kami (PPEI) juga menyoroti pentingnya pendekatan berbasis sains dalam menyusun kebijakan publik," kata Purwanto di sela diskusi publik bertajuk “Tarif Cukai dan Dampaknya terhadap Industri Vape Dalam Negeri,” di Surabaya kemarin.
Sementara itu, hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan kandungan zat berbahaya dalam rokok elektrik jauh lebih rendah dibandingkan rokok konvensional.
"Meskipun bukan produk bebas risiko, kandungan toksiknya secara umum jauh lebih rendah," lanjut Purwanto.
Untuk itu, Purwanto mendesak pemerintah—khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Badan Kebijakan Fiskal (BKF)—untuk segera mengevaluasi ulang struktur tarif cukai rokok elektrik.
Sementara itu, pakar ekonomi Prof. Ahmad Yunani mengungkapkan hasil kajiannya yang menunjukkan perbedaan signifikan dalam kebijakan fiskal antara rokok elektrik sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system).
"Tarif cukai untuk sistem terbuka naik hingga 19,5% per mililiter, sementara sistem tertutup hanya naik sekitar 6%," ujar Yunani.
Menurutnya, industri vape bukan hanya soal bisnis, tetapi juga bagian dari ekosistem ekonomi kreatif yang melibatkan banyak mata rantai, mulai dari produksi hingga ritel.
"Dengan ketimpangan ini, telah tercipta beban yang tidak proporsional dan tidak adil bagi pelaku usaha kecil, khususnya yang beroperasi di segmen open system," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Mochamad Ali Topan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: