Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Investasi Besar, Dampak Sosial Masih Minim: ESG Jadi PR Tambang Nikel Indonesia

        Investasi Besar, Dampak Sosial Masih Minim: ESG Jadi PR Tambang Nikel Indonesia Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau environmental, social, and governance (ESG) dalam industri nikel kian mendapat sorotan di tengah meningkatnya permintaan komoditas ini dalam rantai pasok global. Sebagai pemasok nikel terbesar di dunia, Indonesia masih menghadapi sejumlah pekerjaan rumah dalam memastikan praktik pertambangan yang berkelanjutan.

        Chief Executive Officer Landscape Indonesia (PT Bentang Alam Indonesia) Agus Sari mengatakan, posisi nikel semakin signifikan dalam struktur perekonomian Indonesia, baik melalui kontribusi terhadap ekspor nasional maupun peningkatan ekonomi daerah di sekitar tambang.

        Namun, keberhasilan sektor nikel tidak cukup diukur dari indikator ekonomi semata. Dampak sosial bagi masyarakat sekitar tambang harus menjadi fokus utama, mengingat besarnya aliran investasi yang masuk ke sektor ini.

        Baca Juga: ESG Jadi Fokus, Antam Buktikan Kinerja Hijau di Tengah Hilirisasi Tambang

        “Perlu dilihat apakah pertumbuhan ekonomi dari nikel ini menyejahterakan masyarakat, dengan aliran investasi sebesar ini, berapakah yang benar-benar dinikmati Indonesia?” kata Agus dalam forum diskusi bertajuk Memperkuat Daya Saing Global Nikel Indonesia Melalui Tata Kelola Pertambangan Berkelanjutan di Jakarta, belum lama ini.

        Agus menegaskan, keberlanjutan ekonomi masyarakat pascatambang perlu diperhatikan karena nikel merupakan sumber daya tak terbarukan. Korporasi dan pemerintah, katanya, harus memastikan aktivitas tambang yang berhenti tidak menimbulkan masalah sosial dan ekonomi baru.

        Sementara itu, Akademisi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Tri Edhi Budhi Soesilo menyebut, standar lingkungan menjadi faktor penting dalam menentukan daya saing produk Indonesia di pasar internasional.

        “Indonesia sering disorot dengan isu lingkungan: dianggap sebagai dirty mining atau dirty nickel. Kritik ini ada benarnya, sebagaimana diakui juga sebelumnya. Namun, justru di sinilah tantangan kita: bagaimana memperbaiki praktik lingkungan agar tidak menjadi kelemahan dalam perdagangan,” kata Budhi.

        Baca Juga: Tambang Nikel Dongkrak Ekonomi Warga, Ini Buktinya!

        Budhi menilai bahwa kendala pemenuhan standar lingkungan tidak selalu terkait dengan keterbatasan teknologi, melainkan perilaku manusia. Banyak persoalan lingkungan, sosial, dan ekonomi muncul akibat perilaku yang tidak bertanggung jawab.

        “Karena itu, dalam perspektif ilmu lingkungan, penting untuk melihat daya saing dari sudut bagaimana kita bisa meminimalkan isu-isu negatif. Apalagi kini standar perdagangan global banyak mensyaratkan kepatuhan terhadap prinsip ESG,” ujarnya.

        Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui bahwa pemahaman perusahaan tambang terkait penerapan ESG masih sangat terbatas. Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati, menyebut dari sekitar 4.500 pemegang izin usaha pertambangan (IUP), kurang dari 10% yang memahami ESG.

        “Sebagai gambaran, kita punya 4.500 izin usaha pertambangan. Barangkali yang memahami aspek ESG itu kurang dari 10% yang besar-besar. Sisanya adalah izin usaha pertambangan yang kecil-kecil yang bahkan nggak paham, itu tantangan kita,” ujar Siti.

        Baca Juga: Kementerian ESDM Pastikan Gas Buang PLTSa Aman, Sesuai Analisis AMDAL

        Menurutnya, penerapan ESG di subsektor minerba penting untuk mengendalikan dampak lingkungan dan sosial sekaligus meningkatkan daya saing industri nasional. ESG, kata Siti, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi keberlanjutan usaha pertambangan Indonesia.

        Di sisi lain, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menegaskan, pemerintah perlu segera menyiapkan payung hukum agar penerapan ESG memiliki landasan regulasi yang kuat.

        “Karena ESG ini harus diatur di aturan, regulasi. Karena kenapa? Berbicara punishment, berbicara sanksi, dan berbicara kewajiban. Itu saja sih. Jadi kita lagi kasih masukan ke pemerintah, mudah-mudahan bisa selesai,” ucap Meidy.

        Baca Juga: Potensi Nikel Menjanjikan tapi Tetap Perlu Taat Aturan

        Meidy menambahkan, regulasi ESG harus disusun sesuai kondisi Indonesia namun tetap selaras dengan standar global agar diterima di pasar internasional.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: