- Home
- /
- Kabar Sawit
- /
- Komunitas
Gawi Bapakat, Cara Kabupaten Seruyan Perkuat Tata Kelola Sawit Lewat Pendekatan Yurisdiksi dan Gerakan Paralegal Desa
Kredit Foto: Istimewa
Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, menjadi salah satu pelopor tata kelola komoditas berkelanjutan di Indonesia. Melalui penerapan pendekatan yurisdiksi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), pemerintah daerah bersama masyarakat dan organisasi masyarakat sipil membangun model tata kelola yang menggabungkan perlindungan hak masyarakat dengan praktik kebun sawit lebih bertanggung jawab.
Sejak memulai proses sertifikasi yurisdiksi, Seruyan menghadapi warisan izin-izin perkebunan kelapa sawit yang terbit sejak 2007. Beberapa izin tersebut masih menyisakan persoalan terkait hak masyarakat dan tata kelola lingkungan, yang hingga kini tampak melalui dinamika sosial dan proses penyelesaian konflik lahan.
Tantangan ini juga memperlihatkan keterbatasan kapasitas dialog antara masyarakat dan perusahaan, sehingga mendorong pemerintah kabupaten dan mitra untuk memperkuat kemampuan negosiasi seluruh pihak.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Seruyan mengembangkan berbagai inovasi kelembagaan, termasuk panduan penyelesaian konflik perkebunan, prosedur penanganan pengaduan, unit lintas sektor, serta sistem daring untuk registrasi dan pemantauan konflik.
Upaya ini diperkuat oleh sejumlah regulasi, di antaranya Peraturan Bupati No. 11/2021, Peraturan No. 48/2022, dan SK Bupati No. 188.45/190/2023 yang menjadi landasan hukum penanganan konflik secara transparan dan akuntabel.
Baca Juga: Minyak Sawit Akan Terus Mainkan Peran Kunci Sebagai Kekuatan Ekonomi RI
Kolaborasi multipihak melalui platform bersama yang melibatkan pemerintah kabupaten, perusahaan, serta organisasi seperti CNV-International, HCVN, SPKS, Forest Peoples Programme (FPP), dan Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL) turut mendorong penguatan tata kelola ini.
Namun perubahan paling signifikan justru berawal dari desa. Pada 2022, pemerintah dan masyarakat meluncurkan gerakan Gawi Bapakat sebagai wadah kolaboratif untuk memastikan pembangunan desa berjalan secara inklusif dan berkeadilan. Melalui gerakan ini, Seruyan berhasil membangun jaringan paralegal desa, yang kini hadir di lebih dari 50 desa dan menjadi salah satu jaringan paralegal desa terbesar di Indonesia.
Para paralegal bertugas mendokumentasikan kasus, memfasilitasi mediasi, serta memastikan proses pembangunan menghormati hak masyarakat, termasuk penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) di wilayah masyarakat adat.
Pada 2025, jaringan paralegal ini memperkuat diri melalui pembentukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Hatantiring. Lembaga ini menyediakan pelatihan, pendampingan hukum, serta akses bantuan hukum pemerintah untuk memastikan layanan hukum menjangkau hingga tingkat desa. Subkelompok kerja sosial di tingkat kabupaten juga dibentuk untuk memperluas fokus pada isu-isu seperti hak pekerja, pemberdayaan perempuan, serta perlindungan masyarakat adat.
Dari tapak, sejumlah tokoh menegaskan bahwa perubahan yang terjadi di Seruyan tumbuh dari pengalaman dan kerja kolektif masyarakat. Dr. Marcus Colchester, antropolog sosial dan pendamping masyarakat adat selama lebih dari empat dekade, mengakui bahwa pada awal pendampingan, timnya sempat skeptis dengan efektivitas sistem yang dibangun. Namun menurutnya, Seruyan kini menunjukkan kemajuan luar biasa, baik dari sisi perubahan regulasi, perspektif, maupun mobilisasi masyarakat. Ia menyoroti peran penting perempuan sebagai penggerak perubahan di wilayah tersebut.
Rija’el Pahlepi, Ketua LBH Hatantiring sekaligus paralegal dari Desa Pematang Limau, menjadi contoh bagaimana perubahan besar dimulai dari langkah kecil. Setelah 15 tahun bekerja di perkebunan sawit, ia pulang ke desa dan belajar hukum hingga akhirnya memimpin gerakan akses keadilan di tingkat desa. Ia menegaskan bahwa para paralegal berupaya melakukan perubahan dari apa yang mampu mereka jangkau, sembari berharap kolaborasi dengan pemerintah kabupaten dan mitra seperti Kaleka terus berlanjut.
Baca Juga: Ekspansi Sawit Tekan Hutan Tropis, Intensifikasi Jadi Strategi Pemerintah
Sementara itu, Thomas P. G. Tukan, Manajer Tata Kelola Gawi Bapakat, menyebut Seruyan sebagai satu-satunya kabupaten dengan jaringan paralegal desa terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 300 paralegal di 79 desa. Menurutnya, jaringan ini tidak dibentuk dari atas, tetapi tumbuh sebagai gerakan akar rumput yang memperjuangkan keadilan dan kemudian membangun institusinya sendiri.
Sebagai bagian dari upaya berbagi pembelajaran, sebuah seminar bertajuk “Memperjuangkan Hak Masyarakat Desa — Pembelajaran dari Seruyan dalam Pendekatan Yurisdiksi Berkelanjutan” diselenggarakan pada 17 November 2025 di Jakarta.
Seminar ini menghadirkan Dr. Marcus Colchester, Thomas P. G. Tukan, dan Rija’el Pahlepi untuk membahas perjalanan Seruyan dalam mengintegrasikan keadilan sosial ke dalam tata kelola perkebunan berkelanjutan, termasuk tantangan dan pembelajaran penting dari proses ini.
Baca Juga: Mengenal Aspek Keberlanjutan Minyak Sawit
Baca Juga: IPOC 2025: Indonesia Perkuat Komitmen Pengembangan Biodiesel Nasional
Perubahan di Seruyan masih terus berlangsung. Namun satu hal kini semakin jelas: kabupaten ini sedang menjemput keadilan, langkah demi langkah, dimulai dari desa dengan masyarakat sebagai penggerak utamanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: