Kredit Foto: Antara/Galih Pradipta
Sekitar 1.000 hektare tanah negara yang menjadi aset Asian Games 1962 hilang dari penguasaan negara. Nilai aset diperkirakan mencapai Rp1.000–1.500 triliun.
“Di bawah gedung-gedung itu, hilang 1.000-an hektare tanah negara dengan nilai kisaran Rp1.000–1.500 triliun,” ungkap Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, Kamis (27/11/2025).
Iskandar menyebut nilai tersebut bahkan belum dihitung berdasarkan valuasi terkini. Ia menilai kerugian tersebut setara dengan biaya membangun 15 Ibu Kota Negara.
Ia menambahkan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak 1960 hingga 2024 berulang kali menemukan kejanggalan terkait barang milik negara (BMN) tersebut. Namun temuan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara hukum.
“BPK sejak tahun 1960–2024 sudah menemukan kejanggalan, tetapi aparat hukum tidak pernah menindak,” bebernya.
Pada masa Soekarno, proyek Asian Games 1962 merupakan simbol kebanggaan nasional. Komplek olahraga tersebut dibangun di atas tanah yang benar-benar dibeli negara, bukan dirampas.
Pengadaan tanah mencakup ratusan hektare di Senayan, Tebet–Pancoran, Sudirman hingga Slipi. Seluruhnya dilengkapi dasar hukum berupa Keppres dan Peperpu tahun 1959–1960.
Pendanaannya berasal dari pinjaman Uni Soviet dan pampasan perang Jepang. Mekanisme pembayaran dilakukan melalui Bank Sukapura.
“Status yuridisnya tegas, yakni BMN dan tidak boleh dipindahtangankan," jelas Iskandar.
Masalah muncul setelah Asian Games selesai karena tanah tersebut tidak pernah masuk daftar inventaris negara. BPK pada 1964–1970 mencatat, aset tersebut tidak didaftarkan, tidak diverifikasi, dan tidak ditetapkan penggunaannya.
Iskandar mengungkap adanya oknum yang terlibat dalam konsolidasi tanah. Ia menyebut keturunan pejabat tersebut bahkan masih menguasai sebagian lahan hingga kini.
“Sampai hari ini keturunannya terdeteksi menguasai dan mengkomersialkan tanah-tanah tersebut.”katanya
Sejak akhir 1960-an hingga 1990-an, muncul nama-nama pemilik baru yang memperoleh tanah tanpa dasar hukum jelas. Modus yang digunakan berupa penyimpangan kewenangan dan penghilangan dokumen BMN.
Menurutnya, kebijakan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang mewajibkan pendaftaran ulang sertifikat 1961–1997 menjadi momentum penting. Ia menilai langkah tersebut menjadi pintu masuk hukum paling kuat dalam 60 tahun terakhir.
Iskandar menjelaskan, seluruh tanah Asian Games 1962 berada dalam rentang tahun sertifikat tersebut. Karena itu proses verifikasi ulang dinilai sangat relevan untuk memulihkan BMN.
Ia juga memaparkan, kawasan yang dulunya merupakan tanah Asian Games kini menjadi pusat ekonomi Jakarta. Sudirman dipenuhi kantor swasta, Thamrin dipadati gedung komersial, dan area Senayan berubah menjadi kawasan hotel dan mal.
“BMN kita berubah menjadi properti milik asing, dan di negara lain mustahil itu terjadi," ujarnya.
IAW memperkirakan kerugian negara mencapai Rp750 triliun dalam skenario rendah dan Rp1.500 triliun dalam skenario realistis. Jika dihitung berdasarkan valuasi terkini, kerugian bisa mencapai Rp15.000 triliun.
Potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang hilang setiap tahun diperkirakan mencapai Rp217 triliun. Angka tersebut seharusnya menjadi pemasukan besar bagi negara.
Audit BPK sejak 1960 hingga 2024 selalu menunjukkan pola yang sama terkait BMN Asian Games. Aset tersebut tidak dicatat, tidak dikuasai, dan tidak dipertanggungjawabkan.
Menurut Iskandar, negara diam karena lemahnya sistem BMN, penyalahgunaan kewenangan era 1960-an, dan pembiaran sistemik selama puluhan tahun. Ia mengatakan aturan hukum sebenarnya sudah jelas sejak 1960.
Ia menilai pemerintahan saat ini memiliki kesempatan menuntaskan masalah tersebut tanpa menimbulkan konflik sosial. Upaya tersebut bisa dilakukan melalui pendaftaran ulang, audit, dan penguatan administrasi.
“Ini kesempatan mengembalikan BMN tanpa membuat Jakarta ricuh dan tanpa kriminalisasi warga," tegasnya.
IAW merekomendasikan penetapan zona historis BMN Asian Games 1962 sebagai dasar rekonsolidasi aset negara. Zona ini tidak dimaksudkan untuk mengusir warga, tetapi untuk membakukan status hukum tanah.
IAW juga mengusulkan repatriasi administratif agar tanah kembali menjadi milik negara, sementara bangunan tetap mendapat kepastian hukum. Skema serupa telah diterapkan di Singapura, Malaysia, Jepang, dan kawasan GBK.
Langkah itu memungkinkan negara memperoleh kembali potensi PNBP secara berkelanjutan. Menurut Iskandar, solusi administratif dapat dilakukan tanpa menggugat atau menghentikan aktivitas ekonomi.
IAW juga mendorong pembentukan Satgas BMN 1962–2025 yang terdiri dari Kejaksaan Agung, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Keuangan, BPK, dan BPKP. Satgas ini akan menyusun database historis dan peta digital aset negara.
Baca Juga: IAW Dorong BPK Optimalkan Peran Strategis Demi Perbaikan Tata Kelola Keuangan Negara
Masalah ini, kata Iskandar, bukan sekadar soal aset tetapi tentang wibawa negara. Ia menilai pemulihan aset bisa dilakukan tanpa membuat masyarakat takut.
Iskandar menegaskan bahwa IAW akan terus mengawal proses pemulihan BMN tersebut. Ia menyatakan bahwa negara yang berdaulat harus berani memiliki apa yang menjadi haknya.
“Negara yang berdaulat harus berani memiliki apa yang memang miliknya," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: