Kredit Foto: Istimewa
Titik Project menggelar diskusi publik bertajuk Refleksi Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Antara Janji Politik, Tata Kelola, dan Dampak di Ruang Belajar Alex Tilaar, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12). Diskusi ini membahas pelaksanaan progam terkait dari sisi kebijakan, tata kelola, serta dampaknya terhadap ekosistem sekolah dan kelompok rentan.
Koordinator Nasional Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyampaikan bahwa berdasarkan pemantauan pihaknya, pelaksanaan makan bergizi gratis dinilai menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem sekolah. Salah satu sorotan utama adalah kesenjangan kesejahteraan antara guru dan pegawai dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).
Baca Juga: Catatan MBG 2025, DPR Desak BGN untuk Evaluasi Total dan Nol Toleransi Keracunan
Ubaid menyebutkan gaji guru dalam sejumlah sekolah setiap bulannya masih berkisar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu. Pegawai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di sisi lain menerima gaji sekitar Rp3 juta per bulan. Menurutnya, kondisi tersebut menimbulkan kecemburuan sosial, terlebih anggaran makan bergizi disebut mencapai sekitar Rp1,3 triliun per hari.
Ia juga mengungkapkan minimnya komunikasi antara lembaga terkait dengan pihak sekolah dan orang tua siswa. Menurut Ubaid, dalam sejumlah kasus hanya mendata jumlah siswa dan langsung mendistribusikan makanan tanpa konsultasi terkait kebutuhan khusus anak, termasuk siswa disabilitas.
Ubaid juga menyinggung adanya laporan kepala sekolah yang diminta menandatangani pernyataan agar tidak menyampaikan informasi ke media jika terjadi kasus keracunan makanan. Kondisi tersebut dinilai membatasi transparansi dalam pelaksanaan program.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan menjawab hal itu dengan menekankan pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap pelaksanaan MBG. Menurutnya, berbagai dinamika dan kritik yang muncul harus dipandang sebagai bahan pembelajaran untuk perbaikan kebijakan ke depan.
Veronica menegaskan bahwa makan bergizi gratis dirancang dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan kualitas anak-anak Indonesia sebagai bagian dari visi pembangunan generasi emas. Ia menyebut prinsip inklusivitas menjadi dasar program tersebut agar tidak meninggalkan kelompok rentan.
Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya mulai terlibat lebih awal dalam kebijakan lintas kementerian, termasuk berkoordinasi dengan badan gizi, dengan fokus pada kelompok ibu hamil, balita dan ibu menyusui. Ke depan, pendekatan berbasis komunitas akan diperkuat, terutama melalui dapur-dapur di daerah terpencil.
Menurut Veronica, penerapan makan bergizi gratis tidak dapat diseragamkan di seluruh daerah karena perbedaan kondisi geografis dan budaya pangan. Oleh karena itu, pemenuhan gizi harus berbasis pangan lokal dan kedaulatan pangan masing-masing wilayah, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Baca Juga: Kontribusi Pendapatan dari MBG Belum Signifikan, Ultrajaya Belum Berani Pasang Target
Ia mengakui bahwa pelaksanaan program tersebut tahun ini menghadapi berbagai tantangan, namun menilai hal tersebut sebagai peluang untuk memperbaiki dan memperkuat program pada tahun mendatang melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah, lembaga pendidikan dan perguruan tinggi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar