Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Refleksi Kemerdekaan Indonesia Terhadap Belenggu 'Fraud'

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Tahun ini Republik Indonesia merayakan 71 tahun kemerdekaannya. Merdeka dari penjajahan fisik yang membuat penderitaan jiwa dan materi selama beratus-ratus tahun.

Tidak ada yang membantah jika Indonesia memiliki daya pikat luar biasa. Keindahan alam, kekayaan sumber daya alam, jumlah penduduk yang dapat menjadi basis pasar adalah keunggulan yang dimiliki Indonesia. Setelah 71 tahun merdeka, tidak ada yang akan membantah bahwa kemakmuran dan kesejahteraan yang diharapkan sebagaimana yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa yang tertulis di Pembukaan Undang-undang Dasar dan Pancasila belumlah terwujud.

Menurut United Nations Development Programme (UNDP), nilai human development index (HDI) Indonesia tahun 2014 berada di kategori medium dengan posisi 110 dari 188 negara dan teritori. Antara tahun 1980 sampai dengan 2004 HDI Indonesia meningkat 44,3% dari nilai 0.474 menjadi 0.684 dengan kenaikan rata-rata per tahun 1,08%. Peringkat Indonesia bersama dengan Gabon, suatu negara di Afrika.

Pertanyaan utamanya adalah dengan kekayaan alam berlimpah kenapa Indonesia tidak dapat berada pada peringkat utama HDI dan berdasarkan data UNDP, pertumbuhan HDI Indonesia kalah cepat dibandingkan dengan Vietnam dan di bawah Thailand yang keunggulan sumber daya alamnya di bawah Indonesia.

P2EB Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menerangkan bahwa semakin marak atau kronis korupsi di suatu negara maka makin rendah kesejahteraannya atau perekonomiannya. Demikian sebaliknya semakin rendah korupsi suatu negara maka perekonomian atau kesejahteraan juga lebih baik.

P2EB FEB UGM menyajikan dengan gamblang tabel tentang dampak korupsi terhadap pembangunan dengan sumber data dari Transparency International, 1995-2013. Kesimpulannya adalah semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara maka:

1. semakin tinggi jurang kesenjangan pendapatan antara rumah tangga miskin dan rumah tangga berpendapatan menengah ke atas;

2. semakin buruk indeks pembangunan manusia;

3. semakin tinggi tingkat pengangguran;

4. semakin rendah kinerja ekonomi yang diukur dari PDB riil per kapita;

5. semakin tinggi konflik yang terjadi di suatu negara yang pasti mengganggu proses pembangunan (http://cegahkorupsi.wg.ugm.ac.id/index.php/fakta-korupsi diunduh tanggal 18 Agustus 2016).

Masyarakat di Indonesia sangat mengenal istilah korupsi karena kata korupsi hampir selalu ada di pemberitaan media setiap hari. Korupsi pun dilekatkan pada perbuatan tidak benar yang memiliki dampak langsung atau tidak langsung kepada keuangan atau perekonomian negara, menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. Padahal, korupsi atau terminologi lainnya adalah fraud juga terjadi atau melanda di semua sektor: sektor komersial maupun nirlaba.

Jika P2EB FEB UGM menunjukkan dampak yang luar biasa akibat korupsi maka korupsi di sektor swasta dan nirlaba dapat berakibat fatal. Banyak korporasi yang mengalami fraud mengakibatkan kebangkrutan dan likuidasi serta para pelakunya pun mendapat sanksi pidana penjara.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) setiap dua tahun melakukan survei fraud secara global dan berdasarkan hasil survei tersebut, persentase kerugian karena fraud rata-rata 5% dari gross income, suatu angka yang cukup signifikan mengingat persentase tersebut dihitung dari fraud yang ditangani dan diketahui para anggota ACFE. Padahal ada satu fenomena bahwa fraud itu adalah gunung es di lautan Antartika di mana angka 5% adalah puncak gunung es.

Ini berarti fraud ataupun korupsi adalah berbahaya. Tulisan ini tidak membahas secara mendalam tentang kajian pengaruh atau relasi korupsi terhadap pembangunan atau kesejahteraan. Tulisan ini membicarakan faktor fundamental penyebab maraknya korupsi di Indonesia berdasarkan observasi penulis.

Dalam suatu seminar di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, tanggal 14 November 2015, penulis menyampaikan banyak hipotesis yang dibangun sebagai penyebab tetap maraknya korupsi di Indonesia antara lain rendahnya demokrasi, faktor kelembagaan yang minimal berupa undang-undang dan peraturan pelaksanaannya serta lembaga penegak hukumnya, standar penghasilan aparatur negara rendah, sanksi hukum kurang berat.

Menurut penulis, hipotesis tersebut belum menyentuh substansi yang mendasar penyebab tetap maraknya korupsi di Indonesia. Dalam opini penulis, Indonesia termasuk terdepan memiliki semangat demokrasi dengan adanya pemilu langsung dan komisi pemilu yang independen, lembaga penegak hukum yang independen pun Indonesia punya, lembaga pengawas pun lengkap bahkan lembaga pengawas independen pun Indonesia punya (contoh: Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Ombudsman), pelatihan untuk tenaga pemeriksa dan penegak hukum relatif cukup, standar penghasilan aparatur negara belum tentu lebih buruk dari pada sektor swasta komersial mengingat masih banyak perusahaan dengan UMP/UMK atau bila dibandingkan rasio salary payment per workload individu aparatur negara dengan pegawai perusahaan maka belum tentu remunerasi aparatur negara paling buruk sehingga menjadi pencetus korupsi.

Merujuk kepada konsep pengendalian intern dan tata kelola yang baik yang justru harus menjadi perhatian pertama dan utama untuk membenahi dan mengurangi risiko fraud atau korupsi adalah kewajiban membangun  dan mempertahankan lingkungan pengendalian dan tata kelola yang sehat berupa paling tidak dua measure yaitu:

a. culture : integrity dan discipline

b. tone at the top dan walk the talk

Di semua negara dan perusahaan, pengaruh kepemimpinan sangat penting untuk memberikan membangun  dan mempertahankan lingkungan pengendalian dan tata kelola yang sehat khususnya memberikan warna atas culture, apakah culture hanyalah formalitas yang indah dalam tulisan dan hiasan ataukah menjadi internalisasi dan personalisasi di setiap individu. Walaupun Indonesia memiliki nilai-nilai luhur tradisi dan budaya yang merupakan warisan bangsa seperti jujur, sopan santun, tolong-menolong, namun nilai-nilai luhur ini semakin terkikis, terlebih dengan semakin pesat dan cepatnya informasi secara digital maka nilai-nilai luhur itu menjadi luntur.

Bahkan masyarakat sangat kurang diedukasi, dibiasakan dan ditertibkan untuk menjunjung nilai-nilai luhur. Dengan majemuknya masyarakat maka tantangan untuk membangun culture semakin sulit. Untuk kepentingan pemberantasan fraud dan korupsi, yang menjadi pertanyaan kita apakah kejujuran sudah menjadi budaya, kebiasaan, dan mendarah daging di masyarakat? Apakah masyarakat memiliki budaya dan kebiasaan disiplin untuk mengikuti aturan secara sukarela?

Terbentuknya budaya yang sehat yang paling tidak secara efektif menginternalisasi dan mempersonalisasi integritas (kejujuran) dan disiplin, tidak lepas dari kepemimpinan yang secara jujur merealisasikan tone at the top dan walk the talk, yang secara sederhana dapat dijelaskan sebagai kepemimpinan yang memberikan suri teladan, berkomitmen secara total kepada nilai-nilai (beliefs) yang positif secara tulus, dan mewujudkan secara nyata apa yang diucapkan dengan perbuatan (kesesuaian ucapan dengan perbuatan).

Dengan kata lain, pada masyarakat yang paternalisitik seperti Indonesia sangat dinantikan dan sangat menentukan kesesuaian role model, commitment, dan consistency pada kepemimpinan di semua jenjang.

Dua hal yang mendasar di atas bukan hanya berlaku bagi sektor publik (pemerintah) saja melainkan berlaku pula untuk sektor komersial, termasuk sektor nirlaba (sosial). Selain itu, semakin besar suatu entitas maka semakin kompleks masalah sosial yang mempengaruhi pemberantasan fraud atau korupsi.

Indonesia adalah negara yang sangat luas dan majemuk, sudah tentu masalah sosial yang mempengaruhi pemberantasan fraud atau korupsi menjadi sangat kompleks. Pertanyaannya apakah sudah ada rencana strategis yang konsisten serius untuk diterapkan dengan melibatkan semua stakeholder untuk pemberantasan korupsi.

Dalam konteksi perusahaan, apakah sudah ada rencana strategis yang konsisten dan serius untuk diterapkan dengan melibatkan semua stakeholder untuk pemberantasan fraud? Bagaimana juga dengan faktor kepemimpinan sebagai faktor kunci?

Patut disyukuri bahwa berdasarkan survei indeks persepsi korupsi yang dilakukan Transparency International, nilai Indonesia sebesar 36 mengalami peningkatan nilai sekaligus peningkatan posisi dan semakin mendekati rerata regonal ASEAN sebesar (40), Asia Pasifik sebesar (43), dan G20 sebesar (54). Meskipun membaik, secara relatif skor Indonesia masih kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Laporan Transparency International itu mengindikasikan adanya progress pemberantasan korupsi di Indonesia, meskipun pelan. Nyatanya walau nilai dan posisi meningkat, korupsi atau fraud di Indonesia masih sangat marak. Dengan telah bertambah usianya kemerdekaan Indonesia maka perbaikan yang lebih fundamental diperlukan untuk secara bertahap membebaskan Indonesia dari belenggu fraud atau korupsi.

Penulis: Diaz Priantara, Board of ACFE Indonesia Chapter and Board of IIA Indonesia

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: