Sidang uji materi Undang Undang Nomor 11 Tahun 2016 atau Undang Undang Amnesti Pajak masih bergulir di Mahkamah Konstitusi.
Uji materi ini diajukan oleh empat pemohon yaitu Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, Yayasan Satu Keadilan, tiga organisasi serikat buruh Indonesia, dan seorang warga negara Leni Indrawati.
Seluruh pemohon menilai bahwa UU Amnesti Pajak ini bersifat diskriminatif bagi sejumlah warga negara karena seolah-olah melindungi para pengemplang pajak dari kewajibannya membayar pajak.
Ketentuan tersebut juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.
Selain itu tiga organisasi serikat buruh juga berpendapat bahwa UU Amnesti Pajak mengakibatkan para pengusaha pengemplang pajak diampuni hukumannya, sehingga mencederai rasa keadilan buruh yang selama ini patuh membayar pajak.
Selanjutnya Yayasan Satu Keadilan mempermasalahkan pemaknaan kalimat "tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan dan dituntut, baik secara perdata ataupun pidana jika dalam melaksanakan tugas," dalam ketentuan tersebut.
Kalimat tersebut dinilai memiliki makna imunitas bagi Menteri Keuangan, Pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Amnesti Pajak, karena kewenangan yang diberikan oleh ketentuan tersebut bersifat absolut tanpa pengawasan serta evaluasi, sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Para pemohon kemudian meminta MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan pasal 1 angka 1, pasal 3 ayat (3), pasal 4, pasal 21 ayat (2), pasal 22, dan pasal 23 ayat (2) UU Amnesti Pajak tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon juga menghadirkan beberapa ahli untuk memberikan keterangan terkait dengan gugatan mereka. Salah satu ahli yang dihadirkan adalah pakar hukum perdagangan internasional M. Reza Syarifuddin Zaki.
Reza menyebutkan bahwa UU Amnesti Pajak menunjukkan upaya tidak kooperatif dalam membangun transparansi untuk kepentingan perpajakan dan perdagangan internasional.
UU Amnesti Pajak seharusnya memiliki semangat untuk mendorong upaya para negara peserta Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang ingin merevisi kerahasiaan bank karena dianggap menghambat laju keterbukaan informasi pada 2018.
"Tetapi Pasal 22 UU Amnesti Pajak justru mengesankan imunitas hukum pejabat negara dalam hal pelaksanaan pengampunan pajak, ini tentu mencederai semangat `equality before the law", ujar Reza.
Ahli pemohon lainnya dari Universitas Gadjah Mada Akhmad Akbar Susanto menyatakan bahwa amnesti pajak adalah program yang sangat relevan bagi para pengemplang pajak, namun tidak tepat bagi para wajib pajak yang taat.
Akbar menjelaskan bahwa amnesti pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang dan tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan serta sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.
"Menariknya sejak kebijakan ini dilaksanakan, kita menyaksikan para peserta pengampunan pajak yang secara terbuka tampil ke publik dan bahkan memberikan pernyataan ke media massa seolah-olah mereka adalah pahwalan yang baru melaksanakan tugas suci demi bangsa dan negara," ujar Akbar.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangannya di Mahkamah Konstitusi memaparkan bahwa Undang Undang Amnesti Pajak justru memberikan keuntungan bagi masyarakat luas dan tidak merugikan masyarakat miskin.
Pemerintah berpendapat bahwa dana repatriasi dapat membantu menggerakkan perekonomian nasional karena digunakan langsung untuk pembangunan.
"Pemohon hanya melihat dari satu sisi dan tidak melihat manfaat lahirnya ketentuan ini. Pemohon hanya melihat dari sisi wajib pajak yang tidak patuh yang kemudian diperlakukan sama dengan wajib pajak yang patuh," ujar Sri Mulyani.
Beberapa ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah tentu juga mendukung pernyataan Sri Mulyani, seperti mantan Menteri Keuangan Chatib Basri yang menyebutkan bahwa sebagian besar penikmat dari kebijakan amnesti pajak adalah para pengusaha kecil.
Chatib mengungkapkan bahwa jumlah wajib pajak yang mengikuti kebijakan amnesti pajak paling besar adalah kelompok yang membayar tebusan berkisar Rp10 juta hingga Rp100 juta. Kelompok ini dikatakan Chatib mencapai 129.513 orang.
"Mereka adalah kelompok dengan aset berkisar Rp1 miliar dan kelompok ini bukanlah berasal dari kelompok yang sangat kaya," jelas Chatib.
Chatib kemudian memaparkan bahwa pengusaha atau wajib pajak dengan uang tebusan di atas RP100 miliar hanya berjumlah 32 orang, sedangkan Rp50 miliar hingga Rp 100 miliar berjumlah 71 orang.
Selanjutnya Chatib juga memaparkan bahwa kebijakan amnesti pajak merupakan bagian dari perluasan basis pajak di Indonesia, karena para deklarator mengungkapkan data mereka kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Terkait dengan sanksi pidana, Guru Besar Ilmu Administrasi Pajak dari Universitas Indonesia, Gunadi, menegaskan bahwa UU Amnesti Pajak tidak bisa diartikan secara implisit telah membebaskan para deklarator amnesti pajak dari semua jenis pidana.
"Tetapi harus dipahami hanya sebatas sebagai melarang data dan informasi dari pengampunan pajak yang dijadikan sebagai sumber penegakan hukum," jelas Gunadi.
Menurut Gunadi, para pengemplang pajak tetap dapat dikenai sanksi pidana, namun tindakan hukumnya harus berdasarkan data dan informasi lain.(Ant/Maria Rosari)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement