Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sigit Pramono Masuk Radar Jokowi untuk OJK 1, Ini Profilnya

Sigit Pramono Masuk Radar Jokowi untuk OJK 1, Ini Profilnya Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Seleksi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah melewati tahap IV. Ada 21 nama yang lolos dan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.

Dari daftar tersebut, sosok yang dinilai cukup kuat untuk mengisi posisi puncak DK OJK adalah Sigit Pramono yang berasal dari Indonesian Institute for Corporate Directorship.

Sigit Pramono, pria kelahiran Batang, 14 November 1958 adalah seorang banker yang telah teruji mengatasi beberapa kesulitan bank tempatnya bekerja. Seorang banker yang meniti karier dari bawah, mulai dari officer Bank Exim (1984) sampai dipercaya menangani permasalahan sulit yang dihadapi beberapa bank.

Ia mulai berkarier di Bank Exim sejak 1984 sebagai officer di Cabang Semarang (1984-1985), assistant manager pada Domestic Banking Division (1985-1987), assistant manager pada Treasury & International Banking Division (1987-1988), serta pernah menduduki jabatan-jabatan penting lainnya, yaitu sebagai Head of Loan Syndication Department (1997-1998) dan Head of Loan Remedial Division (1998-Maret 1999).

Jabatan lain yang pernah dipegang adalah sebagai Vice President Director Bank Merincorp (1993-1997), Vice President Director PT Merchant Investment Corporation (1992-1993), Komisaris PT Bank Merincorp Securities (1992-1993), dan Direktur PT Exim Leasing.

Ketika krisis keuangan melanda Indonesia tahun 1997, Sigit ditugaskan untuk menangani sindikasi dan divisi penyelamatan kredit Bank Exim. Tugasnya makin berat ketika Bank Ekspor Impor Indonesia terpaksa melakukan merger bersama empat bank pemerintah lainnya, yaitu PT Bank Bumi Daya (BBD), PT Bank Dagang Negara (BDN), dan PT Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), dan menjadi bank baru dengan nama PT Bank Mandiri.

Ia harus menangani 70%-80% portofolio kredit yang perlu direstrukturisasi, yang merupakan gabungan kredit dari empat bank yang baru merger itu. Ia?juga harus menangani sekitar 615 debitur korporasi besar yang harus direstrukturisasi kreditnya, serta puluhan ribu kredit menengah dan kecil. Oleh karena waktu itu adalah masa awal krisis, portofolio Bank Mandiri mayoritas adalah kredit bermasalah.

Dengan kerja keras dan kemampuannya dalam bernegosiasi dengan para debitur, membuat ia sukses menangani masalah restrukturisasi di bank Mandiri, dan ini ternyata menjadi nilai plus bagi reputasinya di dunia perbankan, sehingga tidak heran jika ia kemudian dipercaya menangani beberapa bank bermasalah lainnya, seperti Bank Internasional Indonesia pada tahun 2002-2003, kemudian BNI pada tahun 2003.

Ketika diangkat sebagai Direktur Utama BNI pada tahun 2003, bank tersebut baru saja menjadi sorotan publik akibat kasus pembobolan BNI melalui letter of credit/LC senilai Rp1,7 Triliun di BNI cabang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Pada tahun 2006, Sigit dipercaya para bankir menjadi Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) hingga sekarang ia sudah menjabat selama dua periode di organisasi paling bergengsi di dunia perbankan tanah air. Sejak 2008, ia diangkat sebagai Komisaris Independen Bank BCA.

Kesuksesannya dalam memimpin bank-bank bermasalah mengantarkannya pada satu kesimpulan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memberi motivasi dan mengajak semua pihak dalam organisasi yang dipimpinnya untuk mencapai misi dan tujuan yang sama. Caranya? "Membangun komunikasi yang baik, secara formal maupun informal," ungkap Sigit.

Ia memperoleh Master of Business Administration dalam bidang Manajemen bisnis Internasional dari Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta pada tahun 1995 dan Sarjana Manajemen Perusahaan dari Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1983. Pendidikan lainnya yang pernah diikuti adalah Syndicated Loan di Singapura (1997), Leasing di Leasing School in Salt Lake City, Utah, USA (1990) dan International Treasury Management Program di Singapura (1985).

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Dewi Ispurwanti
Editor: Dewi Ispurwanti

Advertisement

Bagikan Artikel: