Di Myanmar, Hubungan Umat Beragama 'Memanas' Saat Sebuah Madrasah Ditutup
Chit Tin, seorang pria Muslim berusia 55 tahun telah beribadah di madrasah yang sama di Yangon timur dari dia semasa kecil, sebagian besar dihabiskan di bawah junta yang menghancurkan oposisi, menghancurkan ekonomi Myanmar dan mengubahnya menjadi negara paria internasional atau international pariah state.
Tetapi, ayah dari empat orang yang menderita kemiskinan dan isolasi, sekolah agama Islam, yang berfungsi ganda sebagai masjid, tetap menjadi area yang terisolasi bersamaan dengan komunitasnya sampai sebulan yang lalu, ketika nasionalis Buddhis menggerebek dan memaksa pihak berwenang untuk menutupnya dengan alasan tidak memiliki izin untuk beroperasi sebagai tempat ibadah.
Saat Ramadan, bulan suci umat Islam, dimulai sekitar tiga minggu yang lalu, ratusan warga menerjang hujan monsun untuk bergabung dalam doa yang diselenggarakan di jalan di dekatnya. Pihak berwenang setempat melarang acara tersebut dan mengancam mereka yang hadir akan dikirim ke penjara.
"Saya merasa sangat sedih, seolah langit telah runtuh," kata Chit Tin, salah satu dari sedikit Muslim dari lingkungan sekitar yang berkenan untuk berbicara dengan Reuters. Kebanyakan warga menolak untuk membahas pembatasan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka takut akan dampak yang akan mereka terima, sebagaimana dikutip dari laman Reuters, di Jakarta, Senin (19/6/2017).
Salah satu anggota pemuda, Moe Zaw, sekarang menghadapi hukuman denda enam bulan penjara karena tidak mendapatkan izin untuk mengorganisir ibadah tersebut, menurut sebuah pemberitahuan yang dia terima dari sebuah pengadilan.
Penutupan sekolah agama tersebut termasuk di antara serangkaian insiden yang memicu ketegangan keagamaan di ibukota negara tersebut dalam beberapa pekan terakhir.
Meskipun beberapa kelompok garis keras Buddhis terlibat juga ditangkap, pemantau hak asasi manusia mengatakan bahwa insiden tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah sipil Aung San Suu Kyi yang telah berusia 14 bulan berjuang untuk mengatasi diskriminasi terhadap umat Islam.
Partai berkuasa Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi atau the National League for Democracy (NLD) tidak melibatkan kandidat Muslim manapun dalam pemilihan 2015 yang bersejarah yang mengangkatnya ke kekuasaan atas janjinya untuk memodernisasi dan demokratisasi negara.
Ketegangan antara kedua komunitas telah memanas sejak sejumlah orang terbunuh dan puluhan ribu orang mengungsi dalam bentrokan antara umat Buddha dan umat Islam yang menyertai dimulainya transisi demokrasi di negara itu pada tahun 2012 dan 2013.
"Masjid dan madrasah yang telah ditutup paksa harus segera dibuka kembali, dan para penganut agama tidak boleh diancam atau dikenai hukuman pidana hanya karena menjalankan hak fundamental mereka untuk menghayati dan menjalankan agama mereka," tegas Phil Robertson dari badan pengawas Human Rights Watch.
Pihak lokal yang berwenang menolak memenuhi permintaan komentar berulang kali. Juru bicara pemerintah Myanmar tidak bersedia memberikan komentar, dan dua pejabat pemerintah lainnya yang dihubungi Reuters menolak berkomentar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait:
Advertisement