Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kewajiban Tanam Bawang Putih Bagi Importir Dinilai Hanya Formalitas Belaka

Kewajiban Tanam Bawang Putih Bagi Importir Dinilai Hanya Formalitas Belaka Kredit Foto: Antara/Anis Efizudin
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana Kementerian Pertanian mendorong produksi bawang putih dengan mewajibkan importir menanam 5% dari volume impor, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dinilai hanya formalitas belaka. Kendala bibit dan keterbatasan lahan tidak akan memungkinkan produksi bawang putih lokal mampu memenuhi kebutuhan nasional.

Ketua Bidang Pemberdayaan Petani Fortani Pieter Tangka mengatakan, secara niat aturan mengenai wajib tanam tersebut sebenarnya baik. Sayangnya, ini cenderung menjadi formalitas belaka mengingat kendala bibit dan lahan yang mengintai. 

"Jadi, RIPH itu sekadar formalitas saja dan jadinya mubazir. Kita enggak akan sampai pada titik bisa berproduksi sendiri. Semua itu formalitas karena tidak dikawal secara benar sampai ke tingkat on farm," ucap Pieter, Kamis (15/2/2018).

Menurutnya, sejak aturan tersebut berlaku, memang sudah ada beberapa importir yang bekerja sama dengan petani untuk membudi daya bawang putih. Contohnya di Kintamani, Bali. Hanya saja hingga saat ini, Pieter belum melihat ada yang sukses. 

"Sampai saat ini saya tidak melihat ada yang berhasil. Padahal, itu sudah dari tahun lalu. Seharusnya, ada yang panen dan sudah masuk ke pasar, tapi enggak ada," jelasnya. 

Persoalan krusial yang harus dihadapi menurut Pieter adalah bibit. Ia menuturkan bahwa bibit bawang putih lokal cenderung sulit bersaing di pasaran karena ukurannya kecil. 

Di sisi lain, jika memaksakan menggunakan bibit dari luar, pengimpor yang memang tidak berkonsentrasi terhadap budi daya tani cenderung tidak tahu mana bibit bawang putih dan mana umbi yang untuk konsumsi. Pada akhirnya ketika ditanam, pertumbuhannya tidak menghasilkan umbi optimal. 

Demikian pula kendala lahan, dengan prasyarat bawang putih harus ditanam di atas ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), pengembangan lahan bawang putih sulit menjadi kenyataan, baik itu dilakukan petani maupun importir. Jika dipaksakan, ancaman erosi dan tanah longsor di dataran tinggi akan di depan mata. 

"Bisa enggak Pak Mentan menjamin suatu saat tidak terjadi longsor? Karena ini akan terjadi proses pembukaan lahan dan lain sebagainya yang kemungkinan besar akan mengakibatkan erosi di kemudian hari," tuturnya. 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016 lahan bawang putih malah menyusut. Dari sebelumnya mencapai 2.563 hektare pada 2015 menjadi 2.407 pada 2016.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah

Bagikan Artikel: