Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indosat Pasang Strategi Pertahanan di Tengah Badai Perang Tarif

Indosat Pasang Strategi Pertahanan di Tengah Badai Perang Tarif CEO Indosat_Joy Wahjudi | Kredit Foto: Indosat
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di era digital saat ini, bisnis telekomunikasi tengah berkembang menjadi bisnis lifestyle. Hampir semua produk di luar telepon genggam seperti wearable, smart home/smart city, kendaraan bermotor hingga mesin-mesin membutuhkan layanan data yang disediakan oleh operator telekomunikasi. 

Salah satu tantangan pada industri ini adalah pelanggan layanan data yang tidak mengenal loyalitas terhadap satu merek operator. Tantangan lain, iklim bisnis yang kurang sehat (perang tarif) membuat margin EBITDA operator kian terkikis dan membuat ruang gerak investasi maupun investasi perusahaan terbatas. 

Dengan kondisi tersebut, tidak banyak yang bisa dilakukan operator kecuali menjaga cost structure, efisiensi serta menjaga bottom line dan top line perusahaan. Tengok saja, pada kuartal-III 2017 lalu, peta industri telekomunikasi tidak banyak berubah. Pasar ini masih dikuasai tiga operator besar. Indosat Ooredoo berada di posisi kedua. 

Perusahaan berkode ISAT ini mencatatkan pendapatan data sebesar Rp10,48 triliun atau setara 46,44% dari total pendapatan perusahaan pada kuartal III tahun 2017. Tren pendapatan data meningkat sejak dua tahun terakhir, yang pada 2016 pendapatan data mencapai Rp10,31 triliun setara 35,33% total pendapatan. Padahal, pendapatan data tahun 2015 baru mencapai Rp7,03 triliun atau setara 26,26% dari pendapatan dan sisanya masih didominasi oleh pendapatan voice dan SMS

Dalam era disrupsi, strategi yang jitu menjadi jalan bagi Indosat Ooredoo tetap eksis dan menjadi bagian dari pelanggan, tentunya tidak melupakan kinerja bottom line dan top line yang sehat. Berikut ini petikan wawancara Redaksi Majalah Warta Ekonomi, Arif Hatta, Yosi Winosa, dan Agus Aryanto dengan CEO Indosat Ooredoo, Joy Wahjudi di kantor pusat Indosat, Jakarta pada awal Februari.

Bagaimana gambaran kondisi industri telekomunikasi saat ini?

Kalau saya lihat, tren di 2018 ini semakin menarik. Dari dua tahun terakhir, sudah shifting dunia telekomunikasi karena konsumennya yang berubah dan sekarang kata kuncinya digital. Indikasi yang paling gampang, orang yang tadinya nelpon sekarang sudah gak nelpon, pindah ke platform lain, yakni internet. Bukan berarti mereka gak nelpon, tetep nelpon, tapi menggunakan aplikasi. Sekarang ini, kita masuk dalam peak, dengan data itu average hampir sekitar 60% dari pendapatan industri. 

Menariknya, bisnis telekomunikasi berubah ke bisnis data dan lama-lama ke lifestyle. Sekarang, semuanya sudah interconnected. Saya kemarin beli jam Garmin karena interconnected, tadi lebih ke lifestyle. Jadi, bisnis telekomuniksi akan bertransformasi ke dunia digital becoming dunia lifestyle. Nah, kita sebagai provider extention backbone-nya, melihat telekomunikasi itu tetap basic dari bisnis kita, tapi adanya tren iitu membuat industri ini menarik.

Kalau dari sisi industrinya, kita masih sama, 3 atau 5 pemain. Memang, sekarang ada perang-perang dikit. Perang harga, perang quota. Sekarang adu besar kuota, 1 giga gak ada lagi, ditawarkannya 30 giga atau unlimited

Ini bagian dari transformasi industri, termasuk juga pemainnya karena pressure terhadap setiap operator sama. Kita underpressure karena pendapatan dari telpon atau SMS berkurang, yang terkompensasi dengan data. Jadi,sekarang saya bilang kompetisinya bukan lagi untuk cari pelanggan karena penetrasinya sudah dengan jumlah kartu yang beredar lebih banyak dari jumlah penduduk dan tidak ada lagi yang bisa diakuisisi.

Sekarang, tinggal yang kita punya dan upscalling agar dia mau pakai data kita atau dia akan pakai data orang lain. Kalau saya, hanya terhadap jaringannya saja. Selama bisa dipakai, saya akan pakai. Kedua, mungkin harga, tapi ini secondary, mau semurah apapun tapi kalau tidak bisa dipakai tidak ada gunanya. Tapi, memang secara umum, euforia industrinya memang masih ada perang harga.

Dari konsumen atau industri yang mendorong telekomunikasi ke lifestyle?

Saya bilang dua-duanya. Mungkin ada externality juga dari OTT (over the top – Red.) segala macam yang membantu perubahan. Kalau ditanya, apa kita bermain? Kita juga bermain, tapi complementary terhadap OTT, dan juga konsumen sendiri mau lebih mudah, simpel, generasinya juga mulai berubah. Kombinasi semua itu untuk mendefinisikan ke depannya mau seperti apa.

Semua akan ke lifestyle, telpon hanya bagian kecil dari penggunaan industri ini. Kita ngomong ke depannya dengan teknologi LTE, 5G segala macam karena yang di wire-up itu bukan hanya orang, ada mesin, wearable, mobil, again its all lifestyle yang diubah. Lifestyle tidak bisa dipungkiri, semua nanti akan jalan di jalurnya operator.

Bagaimana Indosat Ooredoo menyikapi soal perang harga?

Ya, memang ini tidak baik, tapi at the same time kalau memang pasarnya begini, kita harus ikut bermain. Kalau tidak, kita ketinggalan. Tapi ini in short term karena kita menyadari tidak selamanya bisa begini. Ya, mungkin akan ada externality pemerintah intervensi, misalnya. Indosat juga musti siap karena kita tidak mungkin jual rugi selamanya. Misalnya, paling tidak, kalau kita melihat sekarang, cost structure kita, orang sudah jarang nelpon pindah ke data berarti ada beberapa hal yang dulunya kita banyak investasi di situ sekarang kita stop. Mau tidak mau, kita harus lebih efisien. Sekarang, kita prioritaskan survive badai yang sedang berjalan, menjaga cost structure, meningkatkan efisiensi, sambil try to be competitive di pasar ini.

Apa lagi yang akan dilakukan Indosat?

Fokus ke core business saja. Yang bukan core business dalam menyediakan jaringan, kita akan keluarkan, misalnya digital bisnis yang lain. Kalaupun masih ada, lebih ke partnership atau kemitraan saja. Kasarnya, kalau saya mau minum susu maka tidak mesti punya sapinya. 

Bagaimana strategi mempertahankan buttom line yang positif ke depan?

Kalau mau profit in short term itu gampang sekali karena saya tidak usah spending apapun. Pasti, profit karena revenue masuk. Tapi, di satu titik, saya mesti investasi juga. Kita mesti jaga agar tetap tumbuh tapi tumbuh sehat. Kalau pasarnya sudah tidak lagi double digit, ngapain kita paksa-paksain mesti double digit, kasarnya gitu. Jadi, saya ingin tumbuh seiring dengan pasarnya saja.

Kalau memang pasarnya 5%, saya tumbuh 4 atau 5% masih ok. Yang penting, saya punya EBITDA dan net profit terus terjaga. Kalau bisa, lebih gede lebih bagus. Arahnya ke situ. Kita tidak bisa dengan skala seperti ini membabi buta kemana-mana. Misalnya soal ekspansi, saya juga tidak mungkin ekspansi dalam 6 bulan di seluruh indonesia, tapi saya akan pilih-pilih. 

Saya tetap akan tumbuh seiring dengan pasar, tapi pasar yang benar, jangan pasar yang dipaksakan terus sama pemainnya. Tumbuh yang reasonable saja, yang penting saya jaga top line dan bottom line. Absolutnya, saya yakin akan naik. Lihat saja nanti laporan kita yang akan rilis.

Apa yang dilakukan agar growth dan sehat?

Salah satu yang membuat kita bisa turun itu overspending karena terlalu ambisius menumbuhkan top line. Jadi, sekarang investasi itu harus dipilah untuk memastikan the best return. Itu sudah kita mulai tahun lalu. Misalnya, berapa operational cost yang bisa dihemat dari satu unit BTS. Tahun lalu, kita banyak menghemat, kita bisa turun sampai double digit.

Buat saya, untuk bisa jadi nomor satu, berarti kita harus ke daerah yang sama. Jadi, bukan soal kita cuma bertahan karena memang pasarnya segitu. Kita compete mungkin efektifnya kira-kira 40% hingga 50% di seluruh Indonesia, sementara kompetitor mungkin sudah di level 80% population coverage. Kalau kita mau nomor satu, kita harus bangun 80% juga. Kalau investasi segitu, banyak sudah dijamin Indosat pasti rugi lagi. Iya, dong, depresiasinya berapa banyak. Makanya kita benar-benar sangat hati-hati. Makanya kalau dilihat EBITDA tiga operator ini gak jauh beda, 50%, 48% dan 38% dan its never too late.

Bagaimana dengan rencana investasi?

Kita akan terus investasi tiap tahunnya, kurang lebih capex kita segitu-segitu saja. Historically, sekitar Rp6 sampai 8 triliun. Pada dasarnya untuk alokasinya, sekitar 20-30% akan kita larikan ke new footprint ke luar Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sementara itu, 70% untuk meningkatkan kapasitas.

Apa terobosan tahun ini?

Industri lagi shifting. Sudah jelas yang akan dihadapi. Faktanya, kita jualan apa, konsumennya maunya apa. Kita yang penting menjual produk yang lebih baik, lebih cepat dan lebih efisien. Jadi, tidak ada yang spesial di kami atau operator lain, kok. Jadi tahun ini, back to basic, fokus ke core bussiness. Apa yang diminta pelangggan sekarang? Ya, kan, cuma harganya doang sama layanannya. Sampai badainya menenang, baru kita bisa melihat, mau ngapain

Apakah tidak mungkin ada produk lain ke depan?

Ya, seperti content mungkin bisa tapi sampai seberapa besar saya tidak tahu. Kan, sudah mulai masuk ke digital content, sekarang tinggal cara me-arrange. Fee base income bisa dicari, tapi memang potensinya belum besar. 

Saya tahu ada beberapa model bisnis yang berbeda. Di India, advertising based. Jadi, nonton apa saja gratis tapi mesti nonton iklan dulu satu jam? Kira-kira mau, ngga? Saya pikir mungkin ada juga segmennya. Saya dengar berhasil di India. Saya yakin setiap model bisnis ada segmennya, sih, cuman masalahnya seberapa besar.

Bagaimana dengan bisnis payment?

Salah satu untuk partnership. Cuman, masalahnya saya lihat terlalu banyak pemainnya. Kedua konsumen menggunakan promonya doang

Bagaiamana komposisi pelanggan B2B dan ritel?

B2B itu sekitar 20% dari pendapatan kita, cukup besar sih. Itu memang salah satu keunggulan dibanding kompetitor. Kita punya anak perusahaan. Saya bilang segmentasinya juga mesti jelas B2Bnya. 

Postpaid juga salah satu yang akan kita kejar. Itu mesti dikembangkan karena prepaid ke postpaid itu bagus buat kita, mereka lebih loyal. Postpaid memang very high end dan terbatas pasarnya, tidak akan lebih dari 5-6%. B2B akan kita besarkan juga dan kita perkuat timnya. 

Apa strategi memperbesar B2B?

Selama ini hanya connectivity sehingga ke depannya harus ke arah solution dan IT solution karena tren sekarang sudah mulai hosting, cloud data center. Makanya, kita sekarang punya strategic partnership, salah satunya dengan IBM. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Arif Hatta
Editor: Ratih Rahayu

Bagikan Artikel: