Kebutuhan listrik di Indonesia terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Dalam Rencana Usaha Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PLN, konsumsi listrik nasional diproyeksikan sebesar 905 kilo Watt hour (kWh)/kapita pada 2018. Angka tersebut akan meningkat menjadi 1.147 kWh/ kapita pada 2022 dan terus naik menjadi 1.501 kWh/kapita pada akhir 2027.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah mencanangkan program 35 ribu megawatt hingga tahun 2019. Besarnya proyek tersebut membuat pengembang dan produsen alat-alat pembangkitan berebut untuk memenuhinya. Salah satunya turbin yang berfungsi sebagai penggerak motor pembangkit listrik. Ada berbagai jenis turbin yang dipakai di berbagai jenis pembangkit yang dimiliki Indonesia, mulai dari tenaga air, bayu, uap, gas, dan lainnya.
Hingga saat ini kebutuhan turbin masih didominasi dari pasar impor. Beberapa pemain besar seperti General Electric dari Amerika, Siemens dari Jerman, Toshiba dari Jepang, dan lainnya. Tidak mau terus tergantung pada produk impor, pemerintah Indonesia juga mendorong penggunaan produk dalam negeri yang diklaim mampu memenuhi hingga 30% kebutuhan boiler nasional dan mampu bersaing dengan produk dari China, India, Malaysia, bahkan Australia.
Memang beberapa produsen tersebut memiliki spesialisasi dan produk unggulan sendiri-sendiri. Seperti produk lokal yang merangsek ke proyek-proyek pembangkit listrik mini hidro. Seperti PT Hidro Turbin Indonesia (HITI) yang memasok turbin untuk Bahtera Project dan PLB Distribusi Jawa Barat. Siemens dan Toshiba saling berebut menawarkan turbin untuk pembangkit listrik tenaga uap. Sementara GE lebih fokus menyuplai turbin untuk pembangkit tenaga gas.
Chief Executive Officer (CEO) GE Indonesia, Handry Satriago, mengakui program pemerintah 35 ribu megawatt telah menjadi tawaran bisnis yang menarik bagi GE Indonesia. Selain mengerjakan proyek listrik pemerintah melalui PLN, GE juga menawarkan teknologi yang dimiliki kepada pihak swasta. Itu sejalan dengan RUPTL, dimana pemerintah mendorong munculnya banyak listrik yang dikelola oleh pihak swasta.
Hingga saat ini, dilihat dari total pembangkit yang sudah dipasang di seluruh Indonesia baik pembangkit milik PLN maupun swasta, GE telah menguasai lebih dari 22%. Dari jumlah turbin yang terpasang menguasai 30% tenaga listrik di Indonesia.
Untuk menghadapi persaingan dengan pemain lain, menurut Handry, GE menyediakan berbagai teknologi yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik dengan berbagai sumber pembangkitannya, mulai dari air, surya, batubara, gas, hingga angin. Seiring dengan perkembangan teknologi, yang paling banyak digunakan di Indonesia saat ini adalah pembangkit listrik tenaga gas.
Baru-baru ini, GE telah menyediakan 20 unit turbin dan memasang lebih dari 700 unit mesin gas di delapan pembangkit listrik tenaga gas yang menghasilkan 500 megawatt listrik. Proyek ini menjadi proyek unggulan GE yang mencakup GE Energy, GE Energy Connection, dan GE Water. Tidak hanya itu, GE juga menawarkan fasilitas pembiayaan melalui bank Exim Honggaria dan Kanada.
Turbin Gas Aeroderivatif (LM6000- PG, TM2500), salah satu produk yang dimiliki GE saat ini telah menghasilkan lebih dari 10 gigawatt listrik, atau setara dengan 26% dari total listrik yang terpasang di Indonesia. Beberapa pelanggan yang menggunakan teknologi ini adalah PLN, Independent Power Producers (IPP), seperti sebagai Medco Power dan Cikarang Listrindo.
Turbin Gas Aeroderivatif menjadi satu-satunya turbin gas yang mampu mengerjakan tugas berat, yang menggabungkan dua teknologi untuk hasil yang terbaik dan paling efisien. Selain produk ini GE juga memiliki turbin dengan teknologi terbaru, seperti Fr6FA dan 9HA yang menawarkan efisiensi yang lebih tinggi.
“Teknologi terbaru ini efisiensinya di atas 60%, terbesar di dunia saat ini untuk pembangkit listrik tenaga gas, dan akan di-install di Indonesia,” ungkap Handry.
Teknologi 9HA telah dipilih sebagai teknologi untuk menggerakkan Pembangkit Jawa 1 dengan kapasitas 1.760 MW. Pembangkit listrik yang merupakan blok tunggal dengan siklus gabungan gas terbesar di Asia Tenggara ini ditargetkan akan beroperasi pada pertengahan 2020 mendatang.
Bisnis di bidang energi tersebut telah menyumbang 50% dari seluruh bisnis yang dijalankan pada tahun 2017. Kesuksesan tahun 2017 tersebut tidak lepas dari upaya GE dalam memperluas layanannya dengan mengintegrasikan bisnis sambungan energinya yang menawarkan berbagai kemampuan listrik dalam distribusi daya dan konversi peralatan.
Memasuki kuartal pertama 2018, bisnis energi baru menyumbang sekitar 35%. Kuartal ini menjadi awal yang menantang bagi GE untuk menutup tahun 2018 sesuai dengan target.
“Tahun ini yang terbesar bisnisnya adalah aviation, tahun lalu power, itu biasanya bergantian saja, antara power, aviation dan oil and gas,” ungkap Handry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: