Pekan lalu, bank sentral Eropa (ECB) kembali memangkas suku bunga 10 basis poin menjadi negatif 0,5%. Suku bunga sangat rendah ini dipertahankan untuk mencegah perlambatan ekonomi yang terpukul dampak perang dagang dan ketidakpastian politik Brexit, sementara inflasi diharapkan bergerak mendekati target 2%.
Setelah ECB memangkas suku bunganya, tak lama Presiden AS Donald Trump melalui cuitan di Twitter merespons pemangkasan suku bunga ECB telah melemahkan mata uang euro terhadap dolar AS. Melalui cuitannya, Trump juga menyindir the Fed untuk segera menurunkan suku bunga.
Lalu, bagaimana dampak pemotongan suku bunga bank sentral Eropa terhadap Indonesia?
Menurut Kepala Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat, kebijakan moneter ECB ini akan membuat negara-negara berkembang, termasuk Indonesia menjadi sasaran likuiditas dana asing (capital inflow).
Baca Juga: Pangkas Suku Bunga Masih Jadi Harapan, Rupiah dalam Tekanan!
"Arus dana asing berpotensi masuk ke Indonesia sehingga memperpanjang kenaikan harga (rally) surat berharga negara (SBN) yang cenderung memperkuat rupiah," ungkap Budi Hikmat, dalam siaran pers, Senin (16/9/2019).
Indonesia sendiri menghadapi dilema mengingat sedang mengalami defisit neraca berjalan yang menandakan dukungan sektor riil untuk menopang penguatan rupiah relatif terbatas. Penguatan rupiah akibat arus masuk modal asing harus diantisipasi dengan mempercepat reformasi struktural memperkuat produktivitas dan daya saing sektor manufaktur dan pariwisata.
"Penguatan rupiah dan polemik perang dagang Amerika Serikat dan China memungkinkan peredaran limpahan barang dan jasa luar negeri sulit dibendung," jelasnya.
Budi juga mengingatkan agar kondisi 'kelebihan likuiditas' global ini tak membuat Indonesia terjebak pada utang seperti yang terjadi pada Brazil. Brazil berusaha keluar dari jebakan middle income trap selama 23 tahun dengan berutang melalui aksi pelonggaran likuiditas the Fed sejak 2008.
Akibatnya, debt to GDP Brazil melonjak dari 37% menjadi 84% pada saat ini. Posisi nominal utang negara Brazil sekitar satu triliun dolar atau sebesar GDP Indonesia.
Budi menuturkan, "Pengalaman Brazil mengingatkan tiga jenis risiko bila kita memacu pemulihan dengan utang luar negeri."
Pertama, currency risk terutama ketika dolar melemah sejak pertengahan 2014. Kedua, interest rate risk setelah the Fed mengindikasikan tapering off di 2013 dan baru meningkatkan sejak 2015, serta lebih mengetatkan likuiditas selama 2018.
Ketiga, income risk terkait dengan penurunan komoditas minyak di mana Brazil sebagai produsen yang cukup besar. Sebagai akibat kombinasi ketiga risiko ini, Brazil mengalami dua tahun stagflasi yang menyebabkannya kehilangan status layak investasi.
Baca Juga: Revisi 74 UU Perizinan dan Investasi, RI Jangan Dieksploitasi Terus!
"Kita harus belajar untuk tidak ceroboh berutang guna membiayai kemakmuran. Sesuai dengan inspirasi saran Nabi Yusuf kita harus memacu investasi untuk meningkatkan produktivitas dan industri pengolahanan investasi serta tidak hidup boros," tegas Budi.
Dia mengakhiri dengan berkata, "Peluang masih terbuka untuk Indonesia mengingat mayoritas penduduk masih muda, penggunaan utang internasional yang relatif rendah, dan potensi penarikan pajak yang masih besar."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: