Tim kemudian bisa membangun parameter tertentu untuk mencegahnya. Masalahnya, dalam skala periklanan, hal ini sangat sulit dioperasikan oleh tim tanpa spesialisasi khusus terkait ad fraud. Umumnya, tim operasional baru bisa mengidentifikasi masalah sebulan setelah fraud terjadi, namun mereka tidak mampu mengidentifikasi dari mana dan bagaimana fraud itu terjadi.
"Masalahnya ad fraud bukanlah sesuatu yang terjadi sebulan sekali, namun konstan. Ini adalah kasus yang menimpa setiap perusahaan, tidak peduli industrinya apa, namun setiap menitnya setiap harinya ad fraud terjadi. Kami menemukan jutaan keterlibatan palsu," terang Luke.
Dijelaskan dia, rata-rata secara global ada sekitar 20-30% dari total trafik periklanan 40.000 klik setiap detiknya, oleh platform Traffic Guard teridentifikasi sebagai ad fraud. Angka ini bervariasi bergantung juga salurannya. Di Asia Tenggara sendiri, angkanya sekitar 20-40%.
Pada klien klien tertentu, yang menjalankan saluran tertentu, ditemukan bahwa 100% merupakan ad fraud. Sifat alami periklanan yang sangat dinamis (satu jenis iklan akan berinteraksi dengan pengguna tertentu, dan itu selalu berubah) membuat ad fraud sangat rumit untuk diidentifikasi.
Apalagi, di momen-momen tertentu, misalnya Harbolnas, aktivitas ad fraud biasanya meningkat. Motif utama para penipu adalah karena pengiklan biasanya meningkatkan belanja mereka. Pengiklan di momen tersebut punya KPI, di mana mereka ingin menjangkau lebih banyak konsumen, mempunyai banyak bujet untuk berbelanja iklan, sehingga penipu pun tergiur untuk menikmati bujet iklan tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: