Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revisi PP 109/2012, 6 Jutaan Buruh Terancam PHK

Revisi PP 109/2012, 6 Jutaan Buruh Terancam PHK Pekerja memproduksi rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) secara manual di pabrik rokok PT Praoe Lajar yang menempati bekas kantor perusahaan listrik swasta Belanda NV Maintz & Co, di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, Senin (19/8/2019). Kementerian Perindustrian mencatat hingga Maret 2019, Industri Hasil Tembakau (IHT) menyerap sekitar 5,9 juta tenaga kerja terdiri atas 4,28 juta pekerja pada sektor manufaktur dan distribusi, 1,7 juta pekerja pada sektor perkebunan. | Kredit Foto: Antara/Aji Styawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah berencana merevisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Revisi PP ini diusulkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan tujuan pengendalian konsumsi rokok.

Revisi PP ini, dinilai asosiasi Industri Hasil Tembakau (IHT), akan membatasi merek yang diterapkan ke produk tembakau. Akibatnya, mengancam kesinambungan industri yang menaungi penghidupan dari lebih dari 6 juta masyarakat Indonesia.

Asosiasi yang mewakili IHT, yaitu Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), dan Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) lantas menolak revisi PP tersebut.

Baca Juga: Asosiasi: Ironis, Industri Rokok yang Disalahkan

Ketua Gappri Henry Najoan menyatakan keresahannya terkait dengan aturan eksesif yang mengancam industri legal.

"Kami di industri makin berat. Awalnya pengamanan, lalu pengendalian. Jika kini usulan revisi ini dilanjutkan, maka akan jadi pelarangan produk tembakau. Sebagai produk legal, selayaknya industri produk hasil tembakau dilindungi," ujar Henry dalam keterangannya, Selasa (19/11/2019).

Pembatasan merek, disebut ketiga asosiasi di atas, akan berimbas pada mata rantai produksi yang terlibat, mulai dari tenaga kerja dan petani tembakau dan cengkeh; para tenaga kerja pabrikan hingga pekerja dan pemilik toko ritel, serta lini usaha lain yang terkait.

Selama lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 90.000 tenaga kerja pabrikan yang mengalami PHK. Jumlah produsen juga mengalami penurunan dari 4.000 pelaku industri di 2007 hingga kini hanya ada di kisaran 700 produsen.

Kekhawatiran mereka bukan tanpa alasan mengingat kebijakan serupa telah diterapkan di berbagai negara. Australia, Inggris, Perancis, yang belakangan diikuti oleh Singapura dan Thailand, menjadi contoh penerapan kebijakan eksesif dengan pemberlakukan kebijakan kemasan polos pada produk tembakau.

Baca Juga: Tiga Asosiasi Industri Rokok Tolak Usulan Revisi PP 109/2012

Yang menarik untuk dicermati, dalam perkembangannya aturan-aturan serupa kini telah melebar ke berbagai produk konsumsi, selain rokok. Contohnya, Cile dan Ekuador yang telah mengimplementasi aturan pembatasan merek pada kemasan produk makanan dan minuman.

Alih-alih melindungi konsumen dan mencapai tujuan kesehatan masyarakat, aturan tersebut justru dianggap melangkahi hak kekayaan intelektual pemilik merek serta membuka jalan bagi suburnya praktik pasar gelap dan produk tiruan di masyarakat.

Karenanya, ketiga asosiasi ini mengharapkan Pemerintah Indonesia untuk menjadikan tren internasional tersebut sebagai salah satu pertimbangan dalam melakukan revisi PP 109/2019 agar tercipta kebijakan yang seimbang dan mewakili kepentingan nasional Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: