Sebagai mantan ketua Panja RUU Perasuransian, yang menghasilkan UU No 40 Tahun 2014, saya tentu berharap adanya upaya yang lebih luas dan sistematis dari otoritas untuk mengatasi dan menata ulang industri asuransi kita. Dari sudut pandang ini, maka yang sedang dihadapi oleh otoritas adalah kenyataan bahwa industri asuransi kita secara keseluruhan sedang pula mengalami tantangan yang sangat signifikan.
Dalah hal penyelesaian permasalan Jiwasraya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan memiliki pilihan- pilihan yang sulit. UU No 40 Ttg Perasuransian Pasal 15, menempatkan posisi pemerintah sebagai Pengendali Jiwasraya. posisi sebagai Pengendali, “mengharuskan” pemeritah untuk memperkuat Risk Base Capital (RBC) Jiwasraya. Selain itu, juga memperkuat Dana Jaminan yang diperlukan untuk mengatasi kewajiban jatuh tempo Jiwasraya.
Sampai disini, muncul satu pertanyaan,seandainya Jiwasraya merupakan perusahaan asuransi swasta, apakah perlakuan linient terhadap persoalan yang melilitnya akan sama?. Pertanyaan ini tentu terkait pula dengan bangunan industri asuransi secara luas. Jawabannya akan berhubungan langsung dengan soal menjaga level of playing field otoritas terhadap industri secara keseluruhan. Dalam skala yang lebih luas, ini tentu juga terkait dengan kemampuan otoritas memberi sinyal positif terhadap keampuhan dan keabsahan regulasi kita dalam mengelola sektor keuangan.
Sayangnya, ditengah situasi sulit ini, suatu lembaga penjaminan polis ( sepadan dengan Lembaga Penjaminan Simpanan untuk industri Perbankan ) yang diperintahkan UU No 40 tahun 2014 untuk segera dibentuk, sampai sekarang belum ada kabar beritanya. Saya dengar sudah ada upaya untuk memasukkannya kedalam Program Legislasi Nasional di DPR. Saya kira, pemerintah dan DPR dapat menggunakan momentum ini untuk segera memprioritaskan pembahasan dan penyelesaian peraturan perundang-undangannya.
Terkait dengan semua itu, di meja Menteri Keuangan hanya ada dua pilihan penyelesaian. Sekali lagi, Posisi Menteri Keuangan dalam hal ini bukanlah regulator, melainkan Pengendali, yang tugas dan kewajibannya sudah diatur sedemikian rupa di dalam Undang-Undang.
Pilihan pertamanya adalah menghentikan kegiataan usaha Jiwasraya. Pilihan Keduanya adalah melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya.
Pilihan pertama memiliki konsekuensi yang tidak mudah. Sebelum meghentikan usahanya, sesuai dengan ketentuan UU No 40 tahun 2014 Bab X Pasal 42, kewajiban Jiwasraya mesti diselesaikan dahulu. Ini tentu mengandung konsekuensi fiskal yang tidak kecil. Selain itu, akan menimbulkan dampak yang bisa saja berkonsekuensi contagion terhadap bangunan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan (ini tentu memerlukan perhitungan yang cermat).
Pilihan kedua adalah tetap melanjutkan kegiatan usaha Jiwasraya. Yang artinya, Menteri Keuangan memenuhi kewajiban standarnya untuk memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh Jiwasraya sebagai Asuransi Jiwa untuk dapat beroperasi secara normal dalam bingkai regulasi yang ada. Ini pun juga mengandung konsekuensi fiskal yang tidak mudah.
Didalam pilihan ini juga terdapat kemungkinan bagi Pengendali untuk menggunakan lembaga mediasi yang sudah diatur didalam Undang-Undang untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi pemegang polis dalam mendapatkan. manfaat asuransi. Dengan begitu, mungkin bisa ditemukan pola restrukturisasi yang dapat membantu Jiwasraya dalam memenuhi kewajibannya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil