Tekanan terhadap pasar saham belum usai. Setelah pada perdagangan terakhir 2019, indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi akibat aksi profit taking investor, memasuki awal 2020, pasar saham kembali tertekan secara global akibat serangan AS terhadap Iran. Ke depan pasar saham diperkirakan akan bangkit, dengan beberapa faktor pendukung.
Menurut Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi, pasar saham akan mendapat sentiment positif dari kinerja emiten yang diperkirakan akan lebih baik pada tahun ini.
Bila pada tahun lalu laba bersih emiten tumbuh rata-rata sekitar 2%, tahun ini diperkirakan akan naik pada kisaran 9%, yang terjadi di hampir seluruh sektor, kecuali sektor batu bara yang masih akan tertekan akibat rendahnya harga batu bara di pasar global.
Baca Juga: Banjir Buat Kepercayaan Investor Turun, IHSG Berkubang di Zona Merah
Bila dibandingkan dengan pasar surat utang dan juga properti, pasar saham masih menawarkan gain yang lebih baik. Pasalnya dengan level suku bunga acuan dan infasi yang terjaga rendah, yield surat utang diperkirakan tidak akan mengalami banyak kenaikan, bahkan cenderung turun. Apalagi the Fed memberikan indikasi suku bunga yang tidak akan turun lagi tahun ini.
Sejalan dengan suku bunga global, Bank Indonesia juga telah memberikan sinyal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik. Bank sentral telah menurunkan suku bunga BI 7-day reserve rapo rate secara total sebesar 1% sejak Juli hingga Oktober ke level 5% dan bertahan hingga Desember 2019, dengan tingkat inflasi sepanjang 2019 sebesar 2,72%. Saat ini rata-rata yield surat utang berada pada kisaran 7%.
"Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini," ujar Lucky.
Turunnya suku bunga, yang diikuti dengan realisasi kebijakan omnibus law akan mampu menggenjot masuknya investasi, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini, tambah Lucky.
Penopang lainnya yang membuat pasar saham akan lebih bergairah tahun ini adalah rencana kenaikan pajak reksa dana atau mutual fund menjadi 10% dari yang saat ini berlaku sebesar 5%.
Semula kenaikan pajak reksa dana direncanakan pada 2014, namun kenaikan tersebut tertunda. Menurut Lucky, rencana kenaikan pada 2021 ini, kemungkinan tidak akan mundur lagi karena dana kelolaan reksa dana sudah naik cukup signifikan dalam lima tahun terakhir, dan di sisi lain pemerintah berencana memotong pajak bagi korporasi.
Untuk menjaga pendapatan pajak negara tetap stabil, pendapatan negara yang berkurang akibat potongan pajak korporasi, sebagian akan ditutupi dari kenaikan pajak reksa dana.
Rencana kenaikan pajak reksa dana ini akan menjadi katalis bagi investor untuk kembali masuk ke pasar saham. Meski kondisi perekonomian global masih dihantui sejumlah ketidakpastian, investor asing diperkirakan akan kembali melirik pasar saham negara berkembang, setelah tahun lalu, investor asing membukukan aksi jual yang cukup besar.
"Berbagai skenario di atas membuat kami cukup yakin pasar saham akan kembali bergairah pada tahun ini, sehingga bisa mendorong indeks naik hingga ke level 7.000," papar Lucky.
Sektor-sektor yang masih positif sepanjang tahun ini diperkirakan berasal dari emiten perbankan, tembakau/rokok, CPO, dan obat-obatan. Sementara beberapa sektor yang harus dicermati di antaranya batu bara, konsumer terkait ritel sebagai dampak dari kenaikan iuran BPJS, terang Lucky.
Serangan AS terhadap Iran
Gejolak di Timur Tengah akibat serangan AS yang menewaskan jenderal besar Iran, yang berbuntut pada pembalasan Iran, telah menyebabkan naiknya harga minyak dunia.
Hal ini akan memberi dampak negatif pada defisit perdagangan yang diperkirakan akan membengkak karena kontributor terbesar defisit perdagangan domestik berasal dari neraca minyak dan gas (migas).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan sepanjang Januari–November 2019, total ekspor migas sebesar US$11,442 miliar, sedangkan impor migas tercatat US$19,752 miliar, sehingga ada defisit sebesar US$8,31 miliar.
Baca Juga: Waspadalah...Waspadalah! BEI Beberkan Puluhan Saham Gorengan di Pasar Modal
Defisit perdagangan Indonesia secara total sepanjang Januari–November bila digabung dengan kegiatan ekspor- impor nonmigas, mencatat defisit US$3,1 miliar.
Menurut Bahana, konflik AS-Iran tidak akan memberi dampak yang besar sepanjang Selat Hormuz sebagai jalur pengiriman minyak dari Timur Tengah tetap dibuka. Bila kenaikan harga minyak dunia terjadi, akan memberi sentimen negatif bagi nilai tukar, yang pada akhirnya berdampak pada kinerja keuangan perusahaan dari sektor semen, obat-obat-obatan, dan konsumer karena banyak menggunakan komponen impor.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: