Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penetapan Pajak Ekspor CPO, Plus atau Minus?

Penetapan Pajak Ekspor CPO, Plus atau Minus? Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pajak ekspor yang diberlakukan untuk minyak sawit Indonesia terdiri atas dua instrumen, yakni Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE). Tujuan pemberlakuan pajak ekspor adalah untuk meningkatkan ketersediaan minyak sawit yang dapat digunakan oleh industri hilir serta sebagai alat untuk mengontrol stok minyak sawit di pasar global sehingga harga lebih stabil.

BK merupakan penerimaan negara (pajak) yang masuk ke dalam kas negara dan menjadi salah satu sumber APBN. BK akan diberlakukan saat satu ton minyak sawit diekspor dengan harga yang telah melewati threshold sebesar US$ 750/MT dengan besaran tarif yang bersifat eskalatif dan progresif seiring dengan terjadinya peningkatan harga di pasar global. Sementara itu, Pungutan Ekspor merupakan bentuk penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan dengan besaran tarif yang sifatnya spesifik.

Baca Juga: Hei Harga CPO, Apa Kabar?

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia telah merilis Harga Referensi Produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang mana BK CPO periode Februari 2020 ditetapkan US$ 839,69/MT. Harga referensi tersebut meningkat 15,07% atau US$ 109,97 dibandingkan periode Januari yang sebesar US$ 729,72/MT.

Penetapan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana menyatakan, "Saat ini, harga referensi CPO berada pada level di atas US$ 750/MT. Untuk itu, pemerintah mengenakan BK CPO sebesar US$ 18/MT untuk periode Februari 2020".

Nilai BK CPO tersebut meningkat dibandingkan periode sebelumnya yang sebesar US$ 0/MT. Mengutip PASPI, implikasi dari penerapan pajak ekspor (BK dan PE) mengakibatkan harga ekspor lebih tinggi dibandingkan harga domestik sehingga ketersediaan minyak sawit di dalam negeri dapat terjaga dan menjadi insentif bagi pengembangan industri hilir.

Secara akumulatif, penerimaan pemerintah dari BK CPO juga mengalami peningkatan dari Rp4,2 triliun tahun 2007 menjadi Rp100,3 triliun pada 2017. Tidak hanya itu, penerimaan pemerintah dari PE berupa dana sawit yang berhasil dihimpun oleh BPDPKS juga mengalami peningkatan dari Rp6,98 triliun tahun 2015 menjadi Rp14,8 triliun pada 2018. Dana sawit tersebut digunakan oleh pemerintah melalui BPDPKS untuk membiayai industri sawit nasional baik pada sektor hulu (peremajaan), hilirisasi, pengembangan penelitian, dan SDM maupun promosi.

Di sisi lain pada sektor hulu (kebun), terdapat potensi kerugian yang akan ditanggung petani akibat penerapan BK dan PE. Hal tersebut dikarenakan harga CPO domestik menjadi lebih murah sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap harga jual TBS. Harga TBS yang rendah akan menurunkan pendapatan sehingga berdampak pada kesejahteraan pekebun sawit. Tidak hanya itu, harga ekspor yang tinggi mengakibatkan harga CPO Indonesia tidak lagi kompetitif sehingga menurunkan daya saing ekspor di pasar global.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: