Cerita Perempuan Muslim India yang Melarikan Diri dari Serangan Warga Hindu
Kerusuhan berbuntut kematian di ibu kota India membuktikan bahwa kaum perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan dalam konflik, tulis wartawan BBC di Delhi, Geeta Pandey.
Kerusuhan di wilayah timur laut Delhi telah menyebabkan kematian 40 orang dari kelompok Hindu dan Muslim. Bagi ribuan perempuan Muslim dan anak-anak yang kehilangan tempat tinggal, masa depan tampak suram.
Di sebuah ruang serba guna di Indira Vihar, ratusan perempuan dan anak-anak yang terusir dari tempat tinggal mereka tengah duduk di atas karpet atau alas. Banyak dari perempuan muda tengah menggendong bayi mereka, tapi ada juga anak kecil, dan anak yang lebih besar tengah bermain.
Ruang serba guna tersebut milik seorang pengusaha Muslim. Tempat itu berubah menjadi pusat pengungsian bagi korban kerusuhan.
Baca Juga: Soal Kerusuhan Agama di India, Gede Pasek Bilang...
Perempuan dan anak-anak tersebut melarikan diri dari sekelompok warga Hindu yang menyerang rumah mereka di Shiv Vihar, salah satu area yang paling terdampak dalam kerusuhan ini.
Shiv Vihar, area yang didominasi kelompok pekerja beragama Hindu dengan populasi Muslim yang cukup besar, serupa labirin gang sempit yang terletak di dekat selokan yang kotor. Beberapa ratus meter, di jalur selokan yang sama, ada area yang dihuni sebagian besar masyarakat Muslim di Chaman Park dan Indira Vihar.
Ada jalan yang memisahkan area Muslim dan Hindu dan kedua komunitas tersebut hidup berdampingan secara damai selama puluhan tahun. Tapi semua itu telah berubah.
Nasreen Ansari, yang meninggalkan tempat tinggalnya di Shiv Vihar, mengatakan kerusuhan itu dimulai Selasa sore, ketika hanya ada kebanyakan perempuan di rumah. Para pria tengah berada di bagian lain di kota Delhi untuk menghadiri pertemuan keagamaan.
"Kami melihat sekitar 50-60 pria. Aku tidak tahu siapa mereka, kami tidak pernah melihat mereka sebelumnya," kata Nasreen. "Mereka mengatakan pada kami mereka datang untuk melindungi mereka dan kami harus tetap tinggal di dalam rumah."
Sambil menyaksikan para pria tersebut dari balik jendela, mereka langsung tersadar bahwa pria-pria itu tidak bermaksud untuk melindungi mereka.
Ia menunjukkan video yang ia ambil dari balik jendela. Video itu menunjukkan beberapa dari pria itu menggunakan pelindung kepala dan membawa tongkat kayu.
Baca Juga: Bela Muslim India, Jumat Besok Jamaah 212 Geruduk...
Nasreen mengatakan para pria itu meneriakkan slogan-slogan Hindu seperti Jai Shri Ram (Sembah Dewa Rama) dan melantunkan pujian seperti Hanuman Chalisa (pujian untuk dewa monyet, Hanuman).
Ibunya, Noor Jehan Ansari, mengatakan tetangga Muslim memberitahu bahwa rumahnya telah dibakar massa.
"Dari jendela, kami bisa melihat rumah tetangga Muslim yang lain dan toko obatnya yang mulai dibakar api."
Para penyerang itu, katanya, merusak saklar listrik dan, menjelang Maghrib, area itu menjadi gelap gulita.
Ribuan orang telah melarikan diri dari Shiv Vihar - Getty Images
"Tak lama setelah itu, api menyala di sekeliling kami, dan kami diserbu bom molotov dan tabung gas kecil, yang dilempar ke arah pertokoan dan rumah milik warga Muslim. Rumah warga Hindu aman," katanya. "Kami tidak pernah membayangkan hal seperti ini terjadi pada kami. Kesalahan kami hanyalah karena kami terlahir Muslim."
Nasreen mengatakan perempuan itu mencoba menghubungi polisi. "Setiap kali mereka mengatakan akan tiba dalam lima menit."
Pada titik tertentu, Nasreen mengatakan ia menghubungi anggota keluarga dan mengatakan bahwa mereka "mungkin tidak akan mampu bertahan malam itu".
Akhirnya, mereka diselamatkan pada pukul 03:00 pagi, 12 jam setelah pengepungan itu dimulai, saat polisi, didampingi oleh pria Muslim dari Chaman Park dan Indira Vihar akhirnya tiba.
"Kami lari untuk menyelamatkan nyawa, hanya dengan membawa pakaian. Kami bahkan tidak sempat mengenakan sepatu," katanya.
Beberapa perempuan lainnya di lokasi pengungsian mengisahkan cerita yang sama.
Shira Malik, 19, mengatakan ia dan keluarganya berlindung di rumah tetangga. "Kami terjebak. Batu dan bom molotov berdatangan bak hujan."
Banyak perempuan bercerita bahwa banyak dari mereka hampir dilecehkan malam itu. Para penyerang, menurut mereka, menarik hijab dan merobek pakaian mereka.
Baca Juga: Menag Angkat Suara soal Konflik di India
Seorang ibu dari bayi berusia satu tahun menangis saat ia bercerita bagaimana pakaiannya dirobek oleh beberapa pria yang memasuki rumah mereka.
Seorang perempuan lain yang berusia 30-an mengatakan satu-satunya alasan ia masih hidup adalah karena ia mendapatkan bantuan dari tetangga Hindu.
"Tetanggaku mengatakan pada para penyerang itu, `Dia adalah keluarga kami. Tidak ada perempuan Muslim di sini.` Saat kelompok penyerang itu pergi, tetanggaku membantuku kabur," katanya.
Kekerasan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini bermula dari Minggu sore, ketika kekerasan berskala kecil terjadi antara kelompok pendukung dan penolak undang-undang kewarganegaraan yang baru.
Dalam beberapa jam, kekerasan tersebut menjalar ke area lain, termasuk Shiv Vihar dan Chaman Park.
Sembari berjalan mengelilingi area tersebut, saya melihat jalan-jalan yang menjadi saksi kekerasan itu. Puluhan polisi anti huru-hara berjaga-jaga untuk mencegah kerusuhan susulan.
Batu-batuan yang digunakan untuk melempari bangunan masih bertebaran, sementara banyak kendaraan, rumah dan toko yang hangus terbakar. Di Shiv Vihar terdapat masjid yang juga hangus terbakar.
Di pusat pengungsian di Indira Vihar, para pengungsi perempuan mengatakan mereka tidak tahu kapan mereka bisa kembali ke rumah.
Shabana Rehman mengatakan anak-anaknya terus bertanya kapan mereka bisa pulang.
"Rumahku habis dibakar para penyerang. Ke mana kami bisa pulang? Bagaimana masa depan anak-anakku? Siapa yang akan mengurus kami? Kami sudah kehilangan semua dokumen," katanya sambil menangis.
Rumah yang telah ia tinggali selama puluhan tahun di Shiv Vihar tak seberapa jauh dari tempat ia mengungsi, tapi jaraknya tampak tidak dapat terjembatani.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri