Jika Corona Pandemi, US$1,1 Triliun PDB Global Bakal Hilang
Sejumlah lembaga konsultan memperingatkan, penyebaran virus corona (covid-19) ke wilayah di luar Asia bisa membuat perekonomian dunia terpukul.
Virus ini telah membawa efek mengerikan terutama ketika banyak pabrik di China tutup, lalu kondisi ini menular ke negara-negara tetangga. Perusahaan-perusahaan besar juga berjuang mendapatkan suku cadang dan barang jadi dari kawasan Timur Jauh.
Baca Juga: Dibayangi Corona, BI Masih Yakin Ekonomi RI Tumbuh 5,4% Tahun Ini
The Guardian, pertengahan Februari lalu melaporkan, perusahaan teknologi yang berpusat di Amerika Serikat, Apple, kemungkinan tak dapat memenuhi target pendapatan kuartalnya lantaran pasokan iPhone untuk sementara terbatas, juga karena penurunan tajam dalam pengeluarannya di China selama virus mewabah.
Pembuat mobil Jaguar Land Rover juga mengeluhkan masalah pasokan. Mereka bisa kehabisan suku cadang mobil di pabrik-pabrik Inggris jika pasokan suku cadang dari China terhalang akibat virus ini.
Lembaga konsultan Oxford Economics memperkirakan, pertumbuhan PDB China turun dari 6 persen tahun lalu menjadi 5,4 persen pada 2020 setelah virus mewabah. Jika virus menyebar lebih luas di Asia, PDB dunia akan turun 0,5 persen atau sekitar US$400 miliar pada 2020.
Jika virus menyebar ke luar Asia dan menjadi pandemi global, PDB dunia akan turun US$1,1 triliun atau 1,3 persen dibandingkan dengan proyeksi saat ini. Penurunan US$1,1 triliun akan sama dengan kehilangan seluruh output tahunan Indonesia, kekuatan ekonomi terbesar ke-16 di dunia.
"Skenario kami melihat PDB dunia terpukul akibat dari penurunan dalam konsumsi, perjalanan, dan pariwisata diskresioner, dengan beberapa efek pasar keuangan dan investasi yang lebih lemah," ungkap lembaga ini.
Sementara lembaga konsultan yang berbasis di London, Capital Economics, mengatakan bahwa situasi di China masih berkembang dan masih belum jelas berapa lama, sebelum aturan karantina di China menyebabkan PHK massal dan pemotongan upah.
Sekitar 85 persen dari perusahaan yang terdaftar di pasar saham memiliki dana cukup untuk memenuhi kewajiban mereka dan membayar upah lebih dari enam bulan tanpa pendapatan lebih lanjut. Namun, ribuan usaha kecil dan menengah di perkotaan mungkin tidak mengindahkan perintah pemerintah China untuk tidak memecat karyawan mereka.
"Sebuah survei yang dilakukan oleh dua universitas China terhadap 1.000 UKM menemukan bahwa sepertiga dari perusahaan akan kehabisan uang tunai dalam waktu satu bulan jika kondisi tak kunjung membaik," kata konsultan tersebut.
Survei lain yang dilakukan pada 700 perusahaan menemukan bahwa 40 persen perusahaan swasta akan kehabisan uang tunai dalam waktu tiga bulan.
Analis perusahaan Asia dari Capital Economics, Julian Evans Pritchard, mengatakan, "Tebakan kami, masih ada waktu satu minggu lagi atau lebih jika aktivitas ekonomi mengalami rebound, sebagian besar karyawan termasuk UKM yang rentan mungkin akan tetap bekerja."
Dengan menghindari PHK besar-besaran, belanja konsumen akan cepat bangkit kembali karena adanya permintaan, yang pada gilirannya akan membantu bisnis wiraswasta dan keluarga yang menjalankannya untuk menutupi sebagian besar dari hilangnya pendapatan mereka.
"Tetapi dengan gangguan yang terus berlangsung setiap hari, risiko kemerosotan output yang berkepanjangan akan meningkat. Jika aktivitas tidak juga pulih, kami akan meninjau kembali perkiraan pertumbuhan tahunan kami," katanya.
Oxford Economics masih memperkirakan dampak virus ini masih terbatas di China dan memiliki dampak jangka pendek, tetapi signifikan sehingga pertumbuhan PDB dunia hanya 0,2 persen lebih rendah dari Januari yang sebesar 2,3 persen.
Akan tetapi, situasi pandemi akan menyebabkan guncangan yang lebih keras dan mengejutkan selama enam bulan ke depan, lalu diikuti dengan pemulihan yang dapat mengganti kerugian yang dialami di awal tahun kemarin.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lili Lestari
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: