Akibat Corona, Jokowi Tuai Kritik Keras dari Lembaga Independen Australia
Lembaga think tank yang berbasis di Sydney, Australia; Lowy Institute, mengkritik habis-habisan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam merespons pandemi virus corona jenis baru, COVID-19. Respons awal Presiden Jokowi disebut sangat mencemaskan.
Kritik lembaga pemikir independen ini diterbitkan melalui medianya, The Interpreter, Selasa (17/3/2020) dikutip dari situs resminya.
Baca Juga: Peneliti Australia Meyakini Dua Obat Ini Bisa Lawan Corona
Pada awalnya, lembaga itu mengulas kesuksesan Jokowi dalam karier politik yang berlatar belakang pengusaha.
"Ketika ia bangkit dengan cepat dari pengusaha furnitur menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta menjadi Presiden Indonesia, Joko Widodo tetap berpegang pada pendekatan yang sama dalam politik; membangun sesuatu, memotong birokrasi, meningkatkan akses ke layanan dasar (meskipun belum tentu kualitasnya), dan bersandar pada pegawai negeri agar lebih efisien," tulis lembaga tersebut.
Gebrakan Jokowi, lanjut lembaga itu, telah terbukti sebagai formula pemilihan yang sangat sukses, sebagian karena bakat alaminya sebagai seorang salesman politik, dan sebagian karena politisi terkemuka lainnya telah berkinerja sangat buruk sehingga peningkatan bertahap ini tampak lebih revolusioner daripada yang seharusnya.
Pada tulisan selanjut, Lowy Institute mulai mengkritik habis-habisan Jokowi dalam merespons krisis COVID-19. Respons presiden dinilai telah mengungkapkan kelemahan dalam pendekatan taktisnya terhadap politik, gaya kepemimpinan ad hoc-nya, dan kurangnya pemikiran strategis dalam pemerintahannya.
"Respons awal sangat mencemaskan, dengan menteri kesehatan kontroversial Terawan Agus Putranto menyarankan bahwa doa akan membantu menjaga orang Indonesia aman dari virus dan umumnya gagal mengatasi masalah," tulis Lowy Institute.
Pada hari Senin, Indonesia baru menguji lebih dari 1.200 orang untuk COVID-19, jumlah yang sangat kecil, dan melaporkan 134 kasus.
"Tidak heran kalau banyak ilmuwan (dan warga negara kebanyak) takut penyebaran di Indonesia, dengan populasi lebih dari 260 juta orang, jauh lebih luas. Dan tidak heran bahwa orang Indonesia yang kaya telah mendekam di Singapura, sebelum negara itu membatasi masuknya mereka (dan yang lainnya) pada hari Senin," kritik lembaga tersebut.
Kurangnya pengujian juga menunjukkan kurangnya transparansi yang lebih luas. Pekan lalu, Jokowi sendiri mengatakan bahwa pemerintah menahan informasi tentang penyebaran penyakit tersebut dari masyarakat karena tidak ingin menimbulkan kepanikan.
"Sebagai presiden pertama di bidang ekonomi, ia jelas khawatir tentang dampak dari tindakan respons terhadap pekerjaan dan bisnis. Dia telah, dengan benar, mencoba meyakinkan orang dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan pencegahan dasar yang tepat, seperti mencuci tangan dengan benar dan meminimalkan kontak sosial yang tidak penting. Tetapi pemerintah perlu jauh lebih terbuka ketika mengelola krisis kesehatan masyarakat dalam skala ini dalam demokrasi yang luas," lanjut Lowy Institute.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: