Indonesia mempunyai lahan gambut sekitar 14,9 juta hektare yang sekitar 9-10 juta hektare sesuai untuk pertanian. Sayangnya, lahan gambut yang dimanfaatkan baru sekitar 2,0-2,5 juta hektare untuk perkebunan dan 0,5 juta hektare untuk pertanian tanaman pangan sehingga potensi lahan gambut masih cukup luas untuk dimanfaatkan.
Hanya saja faktor biofisik lahan berupa kesuburan lahan rendah, emisi gas rumah kaca terutama karbon (CO2) tinggi, serta faktor sosial ekonomi serta degradasi lahan menuntut untuk pengelolaan lahan secara terpadu dan ramah lingkungan.
Baca Juga: Apa yang Akan Terjadi Jika Industri Sawit Indonesia Di-Lockdown?
Sekitar 4,6 juta hektare lahan gambut terdegradasi akibat pengelolaan yang kurang baik dan pernah mengalami kebakaran sehingga perlu direhabilitasi. Selain itu, produktivitas yang dicapai masih tergolong rendah.
Oleh karena itu Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian (Kementan) punya solusi untuk mengatasi permasalahan penting yaitu meningkatkan produktivitas dan sekaligus dapat menekan emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan air dan hara yang ramah lingkungan.
Kepala Balitbangtan Dr Fadry Djufry melalui Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) Hendri Sosiawan menyampaikan pengelolaan air dengan mempertahankan tinggi muka air berkisar pada 40 cm di bawah permukaan tanah dapat menekan emisi gas rumah kaca dan kebakaran lahan.
"Namun untuk menerapkan aturan tersebut di lapangan tidaklah mudah, karena akan sangat tergantung pada kondisi hidrografi lahan dan pengelolaan air yang diterapkan," terang Hendri di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu.
Menurut dia, kelembaban tanah yang terjaga selain dapat mencegah kebakaran lahan juga dapat menurunkan tingkat dekomposisi gambut sehingga emisi CO2 juga dapat ditekan.
Peneliti Balittra Prof Noor menjelaskan teknologi tabat efektif untuk mengendalikan tinggi muka air. Namun model tabat perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga perlu didesain model tabat yang dapat diatur tinggi muka air di saluran sesuai kebutuhan.
Sementara peneliti Balittra lainnya Prof Masganti melihat pengelolaan hara penting dalam upaya peningkatan kesuburan tanah dan produktivitas kelapa sawit, seperti pemupukan yang tepat baik jenis, dosis, cara dan waktu.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: