Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Buka Mata Lebar-lebar: Kelapa Sawit Itu Kambing Hitam Kaum Barat!

Buka Mata Lebar-lebar: Kelapa Sawit Itu Kambing Hitam Kaum Barat! Sejumlah petani mengumpulkan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit untuk dijual kepada pengepul di Bagansiapiapi, Rokan Hilir, Riau, Sabtu (22/6/2019). Harga TBS kelapa sawit terus merosot pascalebaran di sejumlah daerah pesisir Riau seperti Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis dan Kepulauan Meranti hingga mencapai harga terendah Rp530 per kilogram. | Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sudah tidak aneh bukan, ketika berselancar di media sosial justru menemukan banyak berita, pernyataan, bahkan gambar yang menyudutkan perkebunan kelapa sawit, baik di Indonesia maupun di luar negeri?

Nah, untuk membangun citra buruk minyak sawit di pasar global tersebut, LSM antisawit melakukannya dengan menuduh perkebunan kelapa sawit terkait dengan kerusakan lingkungan.

Dalam laporan Palm Oil Indonesia, sebenarnya black campaign bagi industri perkebunan kelapa sawit sudah dilakukan sejak 1980-an oleh American Soybean Association (ASA), produsen minyak kedelai dan pesaing minyak sawit.

Baca Juga: Meski Replanting Sawit, Petani Tetap Berduit!

ASA telah melancarkan kampanye antisawit dengan menuding bahwa minyak tropis (minyak kelapa sawit dan minyak kelapa) mengandung kolesterol. Namun, tudingan tersebut berhasil dibantahkan karena secara ilmiah kelapa sawit tidak menghasilkan kolesterol. Kolesterol hanya dapat dihasilkan dalam tubuh manusia dan hewan.

Setelah gagal dengan tudingan minyak sawit mengandung kolesterol, pada 1990-an LSM antisawit tersebut kembali menyerang minyak sawit sebagai penyebab penyakit jantung dan pembuluh darah.

Tuduhan ini pun kandas setelah para ahli gizi dan ahli kesehatan, termasuk ahli dari negara barat membuktikan bahwa isu tersebut tidak benar. Bahkan sebaliknya, kandungan vitamin A dan vitamin E yang banyak dalam minyak sawit berpotensi mencegah penyakit jantung dan pembuluh darah.

 

Tidak cukup sampai di situ, pada 2000-an hingga sekarang, kampanye negatif terhadap kelapa sawit kembali mengusung tuduhan baru, yakni terkait kerusakan lingkungan dan pemanasan global. Tuduhan kerusakan lingkungan ini tentunya membuat kita tertawa mengingat kesalahan dan borok masa lalu negara-negara barat yang tengah mereka sembunyikan.

Sebelum menjadi negara metropolitan seperti sekarang, dalam masa pembangunannya, negara barat menghabiskan seluruh hutannya (deforestasi), termasuk satwa-satwa di dalamnya. Alhasil, satwa-satwa subtropis yang dulu dikenal melalui buku-buku Sejarah Dunia saat ini sudah tidak ada lagi (punah) dan tinggal kenangan.

Isu kelapa sawit sebagai penyebab pemanasan global juga terus dilontarkan untuk menjatuhkan kelapa sawit. Padahal sudah jelas bahwa dalam laporan Badan-badan Dunia (IPPC, FAO, IEA, dan lainnya) dijelaskan bahwa penyebab utama pemanasan global adalah emisi gas rumah kaca dari konsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi, batu bara, dan lain-lain) yang konsumen terbesarnya adalah negara-negara bagian barat.

Sebaliknya, semua tanaman termasuk kelapa sawit adalah penyelamat lingkungan yang mampu menyerap gas rumah kaca karbondioksida. Ditambah lagi, biodiesel dari minyak sawit yang digunakan untuk mengganti solar akan menjadi penyumbang penurunan emisi gas rumah kaca global.

Baca Juga: Mujur Tak Boleh Diraih, Malang Tak Boleh Ditolak: Harga CPO Terperosok ke Lantai Dasar

Mengutip laporan Palm Oil Indonesia, meskipun masih sedang membangun, moralitas Indonesia masih jauh lebih baik dari negara-negara barat yang sekarang menjadi negara maju. Saat ini, Indonesia tercatat masih memiliki hutan primer terluas di Asia-Afrika.

Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki hutan lindung dan hutan konservasi seluas 41,19 juta hektare yang terus dipertahankan sebagai tempat hidup satwa, seperti orang utan, mawas, harimau, dan lain sebagainya, serta juga sebagai tempat tumbuh jutaan jenis flora. Lahan untuk perkebunan atau pertanian, industri, dan pemukiman yang disediakan pemerintah berada di luar hutan lindung dan hutan konservasi tersebut.

Jadi, tuduhan-tuduhan terhadap minyak sawit tersebut hanya sebagai tameng menutup borok sendiri dan sekaligus melindungi minyak nabati mereka (minyak kedelai, minyak bunga matahari, rape, dan lainnya) yang kalah saing dengan minyak sawit. Bagaimana tidak? Lebih dari 100 tahun minyak kedelai merajai dunia, tiba-tiba pada 2006 digeser dan dikalahkan oleh minyak sawit, khususnya dari Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: