Keberlanjutan (sustainability) merupakan konsep holistik yang mencakup seluruh negara, aspek pembangunan, serta seluruh sektor industri. Tidak mungkin sustainability terwujud jika hanya dilakukan oleh suatu negara atau suatu sektor apalagi satu komoditas.
Untuk mengukur atau memverifikasi terpenuhinya asas-asas sustainability antara lain dapat dilakukan melalui instrumen sertifikasi berkelanjutan (certified sustainability/CS). Yang jadi masalah adalah ketika CS hanya diberlakukan pada satu komoditas tertentu seperti kelapa sawit, sedangkan untuk sektor industri lainnya tidak diberlakukan hal yang sama. Tidak salah jika dalam konteks ini, keberadaan kelapa sawit telah didiskriminasi melalui CS.
Baca Juga: Ketje! Meski Ekspor Turun, Sektor Sawit Sumbang Devisa US$3,5 Miliar di Masa Pandemi
Mengutip laporan Palm Oil Indonesia, sumber energi fosil seperti miyak bumi, batu bara, serta gas alam merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), terbukti penghasil emisi karbon terbesar dunia, penyebab pemanasan global, dan perubahan iklim dunia sehingga jelas tidak berkelanjutan (unsustainable). Namun, mengapa sektor energi fosil dunia tersebut tidak diberlakukan CS?
Sementara, perkebunan kelapa sawit sebagai tanaman yang menghasilkan bahan pangan/industri, menghasilkan oksigen, dan menyerap karbon (membersihkan udara) secara lintas generasi justru diberlakukan dan dituntut memiliki CS. Bukankah kita sudah gagal paham dan keliru tentang sustainability? Apakah tambang minyak bumi, batu bara, gas alam, tambang mineral lebih sustainable dibandingkan dengan kebun sawit?
Tidak hanya itu, komoditas pertanian dunia mulai dari beras, gandum, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, kayu, produk peternakan, hingga produk perikanan di negara manapun tidak dituntut dan diberlakukan CS. Hal tersebut karena pada dasarnya semua tanaman bersifat sustainable dan telah terbukti secara lintas generasi. Jika demikian, mengapa tanaman kelapa sawit dituntut dan diberlakukan CS?
Mengapa RSPO hanya memberlakukan CS pada minyak sawit dan tidak menuntut hal yang sama pada komoditas yang lain di seluruh dunia? Untuk ISPO, mengapa hanya mewajibkan CS pada sawit, sedangkan komoditas lain yang ada di sektor pertanian tidak diberlakukan dan dituntut CS?
Tidak ditemukan alasan yang kuat untuk membenarkan diskriminasi kewajiban CS pada perkebunan kelapa sawit kecuali alasan menzalimi sawit. Data Palm Oil Indonesia mencatat bahwa terdapat 2,6 juta pekebun sawit: 4,4 juta tenaga kerja di perusahaan perkebunan sawit negara dan swasta, serta terdapat 12 juta tenaga kerja tidak langsung dalam perkebunan sawit.
Diskriminasi pada perkebunan kelapa sawit tersebut berarti secara tidak langsung juga telah melakukan diskriminasi pada petani dan pekerja yang hidupnya bergantung pada industri kelapa sawit. Praktik diskriminasi pada kelapa sawit merupakan suatu kesalahan terbesar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum