Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar UI Sarankan Kartu Prakerja Distop Karena...

Pakar UI Sarankan Kartu Prakerja Distop Karena... Buruh menyelesaikan perakitan produksi smartphone Infinix, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (20/3). Menurut Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pengguna aktif smartphone di Indonesia pada 2018 mencapai lebih dari 100 juta orang, dan dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika. | Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
Warta Ekonomi -

Pengamat Hukum Universitas Indonesia (UI) Andri W Kusuma mengatakan program kartu prakerja sebetulnya merupakan program dan niat yang baik dari pemerintah. Namun apabila dilihat dari pelaksanaannya dan perspektif hukum maka sebaiknya disarankan agar dihentikan sementara karena banyak aturan yang dilanggar.

Meskipun disebut bahwa saat ini emerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Diketahui mengait perppu terkait sedang dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terutama mengenai aturan yang membuat pemerintah atau pengambil kebijakan terkait "kebal" secara hukum.

Andri menjelaskan salah satu potensi yang dilanggar di antaranya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bukan saja uang kartu prakerja yang hilang tapi paket data (uang) pun milik para pencari kerja dan korban PHK pasti terpotong.

"Sementara kita tidak pernah bisa tahu berapa data kita yang terpotong. Kita beli paket data 2 GB saja kita tidak pernah tahu apa benar isinya 2 GB karena tidak bisa atau susah diaudit," kata Andri di Jakarta, belum lama ini.

Andri mengatakan, untuk mengakses video di paket yang disediakan program kartu prakerja, paket data milik masyarakat yang lolos program itu  juga berpotensi tersedot. Dalam keadaan sedang susah seperti ini justru mereka berpotensi kehilangan paket datanya atau uang pribadinya.

"Karena mereka tidak punya pilihan, dan parahnya mereka tidak tahu berapa paket datanya yang terpotong. Ini juga melanggar UU perlindungan Konsumen," katanya.

Tercatat, sebanyak 8 juta orang lebih mendaftar program kartu prakerja sejak gelombang awal dibuka hingga Senin kemarin. Setiap peserta yang lolos akan mendapatkan biaya pelatihan sebesar Rp3,55 juta ketika diumumkan lolos sebagai peserta kartu prakerja.

"Namun peserta hanya bisa menggunakan dana sebesar Rp1 juta terlebih dahulu untuk mengikuti pelatihan," ujarnya.

Menurut Andri, ada celah hukum di kartu prakerja ini, termasuk dugaan unsur tindak pidana korupsi., Hanya saja saat ini ada perppu yang luar biasa itu yang membuat tidak bisa diperiksa secara hukum.

"Karena itu sebagai praktisi hukum, saya tidak pernah setuju ada aturan apalagi UU yang memberikan kekebalan atau impunitas, rawan abuse of power,” tuturnya.

Perppu tersebut, kata dia, menegasikan beberapa aturan main yang digariskan secara tegas oleh Konstitusi antara lain peran DPR dalam hal legislasi dan pengawasan kemudian juga menghilangkan peran BPK sebagai satu-satunya  lembaga yang diamanatkan oleh UUD sebagai lembaga yang dapat menentukan ada atau tidaknya kerugian negara.

"Kemudian menghilangkan kewenangan lembaga peradilan sebagai lembaga yang secara konstitusi adalah yang dapat menentukan ada atau tidaknya perbuatan atau tindak pidana. Sekali lagi perppu ini harus dibatalkan atau siap-siap Rp5,6 triliun uang negara yang didapat dari utang yang harus rakyat bayar bisa lenyap," katanya.

Dia juga menyarankan sebaiknya kartu prakerja melibatkan Kementerian Tenaga Kerja karena memiliki data valid paling tidak untuk data tenaga kerja korban PHK.

Kementerian Tenaga Kerja memiliki dinas-dinas di kabupaten kota sehingga harusnya tidak perlu sebuah content provider yang tidak jelas pengalaman dan legitimasinya yang kemudian ditunjuk sebagai pihak yang bermain di tengah. Belum lagi menurut dia, content provider tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi atau ijazah dan lain lain.

"Saya tidak masalah jika ada perusahaan (content provider) yang memperoleh untung dalam kegiatan bisnisnya yang jadi masalah untung besar itu didapat dari uang negara dalam kondisi yang sangat susah saat ini yang tidak bisa ditolerir," katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: