Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gak Mau Kedapatan Gelombang Kedua, Eropa Naikkan Intensitas Uji Antibodi

Gak Mau Kedapatan Gelombang Kedua, Eropa Naikkan Intensitas Uji Antibodi Kredit Foto: Sufri Yuliardi

Keakuratan jadi kunci

Tes antibodi dirancang untuk mendeteksi protein sistem kekebalan yang dikembangkan tubuh manusia sebagai respons terhadap infeksi, yang biasanya merupakan tanda perlindungan terhadap penularan penyakit kembali.

Keakuratan adalah segalanya, karena tes positif palsu dapat memberi orang rasa aman “semu” jika mereka percaya bahwa mereka memiliki penyakit dan memiliki kekebalan, padahal sebenarnya mereka mungkin tidak pernah terinfeksi.

Roche mengatakan tesnya memiliki tingkat keakuratan hingga 99,81 persen.

Sementara, Abbott mengatakan keakuratan dan sensitivitas pengujiannya masing-masing adalah 99,5 persen dan 100 persen.

Lain lagi dengan DiaSorin dari Italia, yang menyebut tes Liason XL-nya memiliki sensitivitas 97,4 persen dan keakuratan 98,5 persen.

Denmark, salah satu negara pertama di Eropa yang membuka kembali sekolah, pada hari Senin (11/5/2020) telah memulai studi antibodi pertamanya. Studi ini meliputi pengujian tes antibodi terhadap 2.600 orang, dengan menggunakan kit antibodi dari Wantai, Cina.

Kementerian Kesehatan Belanda mengatakan pada Selasa (05/05), pihaknya juga telah memesan satu juta kit antibodi dari Wantai.

Sedangkan Italia telah memilih Abbott sebagai pemasok 150.000 alat tes.

Ketika ditanya soal perbedaan dalam jumlah tes antibodi yang dikirim ke berbagai negara, Roche menolak memberi jawaban. Roche mengatakan tujuan perusahaan ini untuk menjadi "adil" bagi semua negara.

Roche tidak ingin terlibat dalam pertikaian politik seperti yang dilakukan salah satu pesaingnya, Sanofi ketika mengatakan Amerika Serikat akan menjadi yang pertama mendapatkan vaksin COVID-19, jika terbukti berhasil.

“Paspor imunitas”

Meski begitu, tak semua negara memiliki perhatian yang sama terhadap tes antibodi. Di Hongaria misalnya, seorang juru bicara pemerintah mengatakan pada Kamis (14/05) pihaknya belum ada rencana untuk melakukan tes antibodi secara massal.

Saat ini pun, masih minim informasi tentang kesepakatan apa yang harus dilakukan oleh negara-negara dengan hasil tes antibodi.

Beberapa negara, seperti Chili, telah melayangkan gagasan misalnya memberikan "paspor imunitas" guna memungkinkan pergerakan bebas. “Paspor imunitas” dapat dikeluarkan untuk orang yang telah sembuh dari COVID-19, dengan pemahaman mereka mungkin telah kebal dari infeksi ulang.

Tetapi Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan terhadap paspor semacam itu, dengan mengatakan "tidak ada bukti" bahwa orang yang telah pulih dari COVID-19 tidak dapat terjangkit lagi.

Menteri Kesehatan Jerman Jens Spahn juga mengatakan pekan lalu, gagasan membatasi orang hanya karena mereka tidak memiliki antibodi spesifik menimbulkan pertanyaan etis.

Sementara Swiss, strateginya sama dengan di negara-negara seperti Korea Selatan dan Taiwan yang telah berhasil menahan laju penyebaran COVID-19. Negara itu menguji siapa saja yang menunjukkan gejala, melacak semua orang yang telah melakukan kontak dengan orang yang terinfeksi, dan mengharuskan mereka melakukan isolasi mandiri sampai mereka jelas terbebas dari penyakit.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: