Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini dinilai hanya mengikuti tren dunia dan tidak ada yang istimewa. Faktanya, selama 1 bulan terakhir terjadi pelemahan mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) terhadap mata-mata uang kunci dunia seperti Euro (EUR), Poundsterling (GBP), Dollar Australia (AUD), dan Singapura Dollar (SGD).
Demikian diungkapkan Analis Ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, Senin (8/6/2020). Menurutnya, makin panasnya situasi politik dalam negeri Amerika Serikat yang dipicu masalah rasial dalam 1 bulan terakhir juga menyebabkan dolar AS (USD) ikut melemah terhadap mata-mata uang negara tetangga kita di ASEAN, di luar Singapura. Sebut saja terhadap Ringgit Malaysia (MYR), Bath Thailand (THB), dan bahkan Filipina (PHP).
Baca Juga: Mantab! Pagi-Pagi Rupiah Sudah Bikin Dolar AS dan Mata Uang Global Tumbang!
"Selain itu, yang menyebabkan rupiah perkasa belakangan adalah karena 'doping' pinjaman dalam mata uang dolar AS yang dilakukan selama 2 bulan terakhir yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan BUMN-BUMN," ujar Gede.
Seperti diketahui, realisasi penerbitan surat berharga negara (SBN) hingga Mei 2020 oleh Kemenkeu adalah sebesar Rp420,8 triliun. Ini termasuk Global Bond yang diterbitkan Kemenkeu pada April 2020 sebesar US$4,3 miliar. Pada Mei 2020, empat BUMN dikabarkan sudah dan sedang mempersiapkan penerbitan global bond dengan nilainya mencapai US$5,6 miliar. Jadi, total Global Bond yang diterbitkan oleh Kemenkeu dan BUMN mencapai US$10,9 miliar (Rp162 triliun-kurs April 2020 Rp14.900/US$).
"Penerbitan SBN dengan bunga tinggi ini (1,5-2% di atas Filipina dan Vietnam, sangat tidak wajar!) akan menjadi bom waktu di masa depan karena beban bunga akan makin besar sehingga membebani APBN di masa-masa mendatang," tutur Gede.
Selain itu, yang juga signifikan adalah support dari Bank Indonesia yang dilakukan untuk menahan nilai tukar rupiah. Seperti diketahui, Bank Sentral telah membeli SBN yang dilepas asing di pasar sekunder sebesar Rp166,2 triliun pada April 2020. Ini adalah bagian dari total stimulus BI sebesar Rp503 triliun untuk menjaga kestabilan sistem keuangan di tengah resesi akibat pandemi Covid-19.
"Namun, di balik semua itu, indikator eksternal ekonomi yang lebih fundamental dalam menyangga mata uang, yaitu neraca perdagangan, transaksi berjalan, dan neraca pembayaran, tetap mengalami defisit," tukas Gede.
Pada bulan April 2020, BPS mencatat ekspor Indonesia sebesar US$12,19 miliar. Nilai ini anjlok 13,3% bila dibandingkan bulan Maret 2020 dan anjlok 7% bila dibandingkan dengan April 2019. Sementara, impor pada bulan April adalah sebesar US$12,54 miliar. Nilai ini turun 6,1% bila dibandingkan bulan lalu. Secara total, pada bulan April 2020 Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$350 juta.
Adapun indikator eksternal seperti transaksi berjalan pada kuartal I-2020 (Jan-Maret) tercatat masih defisit US$3,9 miliar. Sementara, neraca pembayaran (balance of payment/BOP) pada periode yang sama juga mengalami defisit US$8,5 miliar (sangat buruk bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 ketika BOP meraih surplus US$2,4 miliar).
"Kesimpulannya, penguatan rupiah saat ini hanya akan sementara karena penguatannya yang mengikuti tren pelemahan dolar AS dan ditunjang doping dari Kemenkeu, BUMN, dan BI yang hanyalah artifisial belaka. Saat pasar menyadari fundamental ekonomi Indonesia yang lemah, yang kondisinya akan tetap begini hingga akhir 2020, situasi akan berbalik," pungkas Gede.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum