Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Political Will dalam Menjaga Industri Pesawat Dirgantara

Oleh: Ricky Rachmadi, Pengamat Sosial Politik

Political Will dalam Menjaga Industri Pesawat Dirgantara Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi

Riwayat selanjutnya PT DI bukan lagi tentang pabrik pesawat yang sedang bangkit dari keterpurukan, tapi sudah mulai mengepakan sayapnya untuk terbang lebih tinggi. Momentumnya adalah ketika PT DI memperkenalkan N-219 Nurtanio. Sebuah pesawat terbang serbaguna berkapasitas 19 penumpang dengan 2 mesin turboprop. Pesawat ini dibuat untuk mengangkut penumpang dan kargo yang bisa mendarat di lintasan pendek. Karenanya produk ini sangat cocok untuk negara kepulauan yang memiliki daerah-daerah terpencil seperti Indonesia.

PT DI sukses melakukan uji terbang perdana pesawat N-219 pada 16 Agustus 2017. Meski baru terbang perdana pada tahun 2017, ide N-219 sendiri sudah dimunculkan PT DI sejak 2003. Sebuah rancangan program yang menjadi bagin dari pembenahan yang dilakukan PT DI. Dan N-219 baru bisa dilaksanakan pada tahun 2006 setelah dilakukan kerjasama dengan Qatar dengan nilai investasi sebesar US$65 Juta. 

Selanjutnya, pada Agustus 2016, Airbus Defense and Space juga menyatakan komitmennya untuk memberikan bantuan dalam penapaian sertifikat untuk model N-219. Setelah sebelumnya sempat membantu sertifikasi model N-250.

Akan tetapi sepertinya apa yang terjadi pada tahun 1998, akan terjadi lagi pada tahun sekarang. Pangkalnya bukan lagi krisis ekonomi, tapi political will pemerintah dalam melindungi industri dirgantara yang sangat penting. Tanpa ada alasan yang jelas, Budi Santoso, Dirut PTDI yang berhasil membangkitkan kembali PT DI dari keterpurukan, yang merupakan kader Habibie ditahan KPK karena tudingan korupsi. Bersama Budi Santoso turut pula dijadikan tersangka dan sekaligus ditahan yaitu mantan Asisten Dirut PT DI yaitu Irzal Rinaldi Zailani.

Masalahnya, tudingan korupsi itu kelak akan menjadi dakwaan di pengadilan yang sangat sumir. 

Dakwaannya terhadap Budi Santoso yang sudah mempersiapkan PT DI kembali terbang tinggi adalah korupsi dan merugikan keuangan negara. Namun fakta yang menguak, Dirut PT DI hanya menggunakan uang operasional yang biasa digunakan untuk keperluan negosiasi dan lobby bisnis seperti biasa. Budi Santoso akan didakwa korupsi karena kekeliruan administratif dalam mengelola keuangan perusahaan ketimbang perbuatan korupsi sebagai sebuah pelanggaran etik memakan uang negara. 

Dalam silang yang nanti sengkarut seperti ini, mau tidak mau pemerintah mesti turun tangan untuk lebih bisa menjernihkan bagaimana seharusnya badan usaha negara itu dikelola. Jangan sampai pelanggaran administratif berubah menjadi pelanggaran etik. Pemerintah perlu menunjukan political will untuk menunjukkan kepedulian terhadap bangkitnya industri pesawat terbang nasional yang sudah mulai mengepakan sayapnya untuk terbang tinggi.

Presiden Soekarno telah mengirim Nurtanio untuk belajar industri dirgantara ke Filipina. Presiden Soeharto telah mendirikan PT IPTN dan memberikan dukungan penuh terhadap perusahaan ini dalam membangun industri pesawat nasional. Sementara Presiden SBY sudah menunjukan political will dengan membangkitkan kembali PT DI yang sebelumnya terpuruk karena krisis moneter. Maka adalah kewajiban Presiden berikutnya untuk menunjukan political will terhadap perkembangan industri dirgantara. Karena bila tidak ada political will untuk melindungi industri dirgantara, maka dunia dirgantara kita tidak akan kunjung terbang tinggi pula. Riwayatnya hanya berkutat seputar terpuruk dan bangkit seadanya saja. Tidak ada riwayat terbang tinggi. 

Hal diatas perlu ditegaskan karena saat ini tidak adanya political will pemerintah untuk melindungi industri dirgantara nasional, termasuk juga terlihat dari perjalanan pesawat R80 rancangan BJ. Habibie. Suhu dan mentor nya Budi Santoso.

Sebagaimana diketahui, R80 adalah pesawat regional jarak pendek berkapasitas 80-92 penumpang yang dikerjakan PT Regio Aviasi milik Presiden BJ. Habibie. Diperkenalkan tahun 2017, pesawat ini sangat cocok negara kepulauan seperti Indonesia. Sejumlah maskapai penerbangan sudah berencana menjadikan R80 menjadi bagian dari armada mereka. R80 telah kebanjiran pesanan. NAM Air sudah memesan sebanyak 100 unit, Kalstar sebanyak 25 unit, Trigana Air 20 unit dan Aviastar sebanyak 10 unit. Karenanya ketika memperkenalkan R80, Almarhum BJ Habibie sangat optimis bila pesawat rancangannya ini akan menjadi ujung tombak industri penerbangan nasional.

Bersama pesawat N-245, R80 yang dikembangkan Habibie ini, sudah dimasukan pemerintah sebagai bagian dari tiga program Proyek Strategis Nasional yang dikelola Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Namun karena tidak adanya political will pemerintah dalam mengembangkan dan menjaga industri pesawat terbang nusantara, 29 Mei 2020 yang lalu, pemerintah mengeluarkan R80 dan N-245 dalam daftar Proyek Strategis Nasional lebih lagi akibat pandemic Covid-19. R80 dan N-245 tersingkir dari Proyek Strategis Nasional dikalahkan dengan pengembangan proyek pengembangan drone.

Mari kita berharap agar pemerintah memberikan dukungan yang kuat serta penuh bagi proses pengembangan dan terus bangunnya industri pesawat ini, bukan sekadar produk atau karya PT DI yang musti didukung, tapi sekaligus upanya dalam menciptakan SDM yang unggul dalam industri pesawat tersebut. 

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: