Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Political Will dalam Menjaga Industri Pesawat Dirgantara

Oleh: Ricky Rachmadi, Pengamat Sosial Politik

Political Will dalam Menjaga Industri Pesawat Dirgantara Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi

Pada 11 November 1983, IPTN memperkenalkan pesawat pertama produksi mereka bernama CN-235. Sebuah pesawat penumpang sipil kelas menengah bermesin dua ini menjadi pesawat paling diminati banyak kalangan di kelasnya. CN-235 adalah pesawat hasil kerja sama antara IPTN dan CASA dari Spanyol. Karenanya kode awal pesawat ini adalah CN yang merupakan singkatan dari CASA dan Nasional atau Nurtanio.

Tidak berhenti di CN-235, 6 tahun berikutnya IPTN memperkenalkan rancangan pesawat keduanya berkode N-250. Pesawat yang terbang perdana pada 10 Agustus 1995 ini, menjadi pesawat primadona IPTN dalam upaya merebut pasar di kelas 50-70 penumpang. Berbeda dengan pesawat sebelumnya yang merupakan hasil kerjasama dengan CASA Spanyol, N-250 adalah hasil karya IPTN sendiri. Karenanya, kode pesawatnya yang digunakan adalah N, yang berarti Nusantara atau Nurtanio, bukan lagi CN.

Namun kreasi gemilang industri pesawat terbang nasional milik Indonesia yang tinggal dikembangkan lebih lanjut ini, terputus. Hanya dua tahun setelah N-235 terbang perdana, Indonesia dilanda krisis moneter. Gonjang-ganjing ekonomi ini mau tidak mau berimbas ke IPTN. International Monetery Fund, IMF, yang dijadikan juru selamat ekonomi Indonesia dengan pinjaman uang nya oleh Presiden Soeharto, mensyaratkan pembubaran IPTN sebagai bagian dari upaya yang harus dilakukan pemerintah Indonesia. 

IPTN yang sudah goyah karena krisis ekonomi, menjadi bertambah goyah. 

Sejak 15 Februari 1998, APBN tidak lagi mengalokasikan dana untuk IPTN. Karenanya IPTN harus merumahkan banyak karyawannya. IPTN yang semula mempunyai 16 ribu karyawan, memangkas jumlah karyawannya hingga menjadi 4.000 orang saja. Hanggar-hanggar IPTN yang semula menjadi tempat produksi pesawat, banyak yang terlantar hingga menjadi sarang laba-laba. 

Namun sekitar pertengahan tahun 2000-an, IPTN yang sudah berubah nama menjadi PT DI, menunjukan geliat kebangkitannya. Di tengah ancaman kebangkrutan karena tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun serta jaminan hari tua terhadap karyawannya, PT DI mendapat pesanan membuat pesawat dari negera-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Brunei, dan Filipina, termasuk negara Korea Selatan. 

Sementara kegigihan pamerintah dan PT DI untuk membangun kembali industri pesawat nasional, mulai terlihat buahnya. Pada 24 Oktober 2007 Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas PT DI. Setelah itu PT DI berhasil mengirimkan 4 unit pesawat CN-235 pesanan Korea Selatan. Selain itu PT DI dipercaya TNI AL untuk menyelesaikan 3 pesawat CN-235 dan 24 Heli Super Puma dari Euro Copter.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: