Kisah Perusahaan Raksasa: Samsung Si Taipan Elektronik Korsel
Saat ini, seluruh dunia memasuki era digital. Kurun waktu ini bagi banyak orang diartikan sebagai masa ketika informasi relatif mudah dan cepat diperoleh. Dengan alasan itu, banyak orang dengan mudah menyebarluaskan informasi tersebut tentunya menggunakan teknologi digital.
Teknologi digital sendiri merupakan perangkat yang sudah dikomputerisasi. Perangkat tersebut umumnya terkoneksi dengan jaringan internet.
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: CSCE, Konglomerat Konstruksi dari China
Seiring perkembangannya, manusia memiliki gaya hidup baru yaitu lifestyle yang tak lepas dari perangkat elektronik. Ada dua perangkat elektronik yang umum dan sering digunakan banyak orang, seperti telepon pintar (smartphone) dan komputer atau laptop. Semua teknologi itu pada dasarnya digunakan manusia untuk mempermudah melakukan sejumlah pekerjaan atau tugas.
Penjelasan tersebut diambil dari perspektif positif. Sementara jika diambil dari perspektif yang berlawanan, muncul istilah baru yakni perang teknologi. Contoh nyata bisa dilihat dari memanasnya perang teknologi Amerika Serikat dan China. Seperti dalam laporan Reuters disebutkan, sejumlah perusahaan lokal China berencana mengganti perangkat teknologi Intel, Microsoft, Oracle dan IBM, yang semua itu bermarkas di AS.
Hal itu dianggap wajar karena China adalah negara dengan pengguna ponsel pintar terbanyak di dunia, diperkirakan sebanyak 574 juta jiwa. Sementara AS membuntuti di posisi kedua. Meski begitu, AS rupanya harus berhadapan dengan raksasa dari Asia lainnya, yakni Korea Selatan dengan Samsungnya.
Raksasa teknologi asal Korea Selatan itu sudah tak asing di telinga banyak orang. Untuk urusan ponsel pintar, Samsung adalah saingan kuat dari Apple. Di sisi lain, produk elektronik keluaran Samsung juga cukup bersaing di pasar global.
Pada 2020 saja, Samsung Electronics membukukan pendapatan tahunannya sebesar 197 juta dolar AS. Sayangnya, pendapatan perusahaan ini ternyata minus 10,8 persen. Untuk perolehan laba bersih perusahaan tercatat mencapai 18,4 juta dolar AS di tahun yang sama. Namun lagi-lagi, angka tersebut dihasilkan dari laba minus 53,7 persen.
Alhasil, Samsung harus turun empat peringkat, ke urutan 19 daftar Global 500 versi Fortune pada 2020. Kejadian itu disebabkan berbagai soal, di antaranya penurunan dalam industri chip memori, persaingan dengan Huawei, serta yang terbaru kasus sang bos, Lee Sang-hoon dan Lee Jae-yong.
Di balik kesuksesan besar Samsung tentunya ada cerita panjang yang menarik untuk diulas. Lantas pada kali ini, Selasa (2/9/2020), Warta Ekonomi berkesempatan menguraikan kisah perusahaan raksasa asal Korsel ini menjadi artikel sebagai berikut.
Jangan kaget, Samsung mengawali bisnisnya sebagai perusahaan pengekspor bahan kebutuhan sehari hari, seperti mie, sayur, hingga ikan kering. Adalah Lee Byung-chull, pendiri perusahaan pengekspor itu pada 1938 dan berlokasi di Taegu, Korsel. Hal lainnya adalah, raksasa Korsel itu memulainya hanya bermodal 30.000 won Korsel (sekitar 27 dolar AS), dan dijalankan dengan 40 karyawan.
Lee menamai perusahaanya "samsung" yang berarti "tiga bintang" dalam bahasa Korea. Perusahaan itu kemudian tumbuh dan berkembang ke ibu kota, Seoul pada 1947. Sayang, Perang Korea pecah pada 1950 sampai 1953. Dalam kondisi itu, bisnis Lee terancam karena terjadi penjarahan, sehingga membuat bisnisnya tekor.
Perang Korea usai pada 1953. Lee segera menjalankan bisnisnya lagi dengan memulai penyulingan gula di Busan dengan uang tabungan salah satu manajernya, sekitar 1953. Tindakan Lee sempat dikritik karena gula pada saat itu dapat dengan mudah diperoleh dari bantuan AS. Namun dia beralasan bahwa itu adalah pabrik pertama yang dibangun di Korsel. Di periode yang sama, Lee juga membuka jalan ke bisnis tekstil dan membangun pabrik wol terbesar di negara itu
Perluasan ragam bisnis Lee menjadi awal strategi tumbuh dan berkembang Samsung. Dia sangat fokus pada industrialisasi. Tujuannya, membantu membangun dan memperbaiki negaranya usai perang saudara itu. Selama periode ini, bisnisnya diuntungkan oleh kebijakan perlindungan yang baru diadopsi pemerintah Korea. Isinya adalah melindungi konglomerat domestik besar (Chaebol) dalam persaingan sekaligus memberikan pembiayaan mudah.
Dengan berbagai keuntungan yang diterima, Lee merasa kurang puas dengan bisnisnya saat itu. Pada gilirannya, pengusaha itu mulai menjajal bisnis elektronik pada 1960-an.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: