Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Laba 4 BUMN Konstruksi Kompak Amblas, Waskita Karya Paling Nahas

Laba 4 BUMN Konstruksi Kompak Amblas, Waskita Karya Paling Nahas Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kinerja sektor konstruksi sepanjang semester I 2020 mengalami hambatan besar sebagai imbas dari adanya pandemi Covid-19. Geliat pembangunan infrastruktur juga melemah sehingga berpengaruh signifikan terhadap bisnis dan kinerja keuangan perusahaan di sektor tersebut.

Perusahaan-perusahaan konstruksi pelat merah sekalipun tidak bisa berbuat banyak pada awal tahun 2020 ini. Berdasarkan data yang dihimpun WE Online, empat emiten BUMN konstruksi mengalami penurunan kinerja keuangan, khususnya untuk pos laba. Satu di antaranya bahkan harus menelan rugi pada Juni 2020 lalu.

Baca Juga: Laba Emiten Properti LQ45 Ambruk, Siapa yang Paling Terpuruk?

Lantas, BUMN konstruksi manakah yang nasibnya paling nahas di antara yang lainnya? Simak ulasan berikut ini. 

1. Waskita Karya (-110,24%)

PT Waskita Karya Tbk (WSKT) harus menelan pil pahit pada paruh pertama tahun 2020. Pasalnya, sepanjang enam bulan pertama tahun ini, WSKT membukukan kerugian sebesar Rp1,1 triliun. Padahal, pada semester I 2019 lalu, WSKT masih mengantongi laba sebesar Rp997,8 miliar.

Kerugian yang ditanggung perusahaan tidak lepas dari amblasnya pendapatan WSKT sebesar 45,7% dari Rp14,8 triliun pada Juni 2019 menjadi hanya Rp8,04 triliun pada Juni 2020.

Baca Juga: Daftar Hitam Kecelakaan Kerja Berujung Nahas di 9 Proyek Waskita!

Direktur Keuangan WSKT, Taufik Hendra Kusuma, menjelaskan bahwa biang kerok kerugian perusahaan adalah banyak proyek WSKT yang belum terbayar. Proyek yang melibatkan pengembang apartemen The Frontage di Surabaya, yakni PT Trikarya Graha Utama (TGU) adalah salah satu di antaranya. Tak main-main, piutang WSKT yang belum dibayar oleh TGU dalam empat tahun terakhir nilainya mencapai Rp100,65 miliar.

"Saat ini likuiditas menjadi salah satu prioritas utama perusahaan. Semua potensi kas masuk sudah dipetakan dan akan dikawal agar sesuai dengan timeline yang dibuat," pungkas Taufik pada Selasa, 1 September 2020 lalu.

Di luar kasus tersebut, hampir semua sumber pendapatan WSKT mengalami penurunan pada H1 2020. Bahkan, kontributor utama pendapatan WSKT menurun tajam, yakni pendapatan dari jasa konstruksi. Pada Juni 2019 lalu, jasa konstruksi menyumbang pendapatan sebesar Rp13,76 triliun, namun angkanya terpangkas menjadi Rp7,23 triliun pada Juni 2020. 

Pada periode yang sama, pendapatan dari penjualan Precast juga anjlok dari Rp677,09 miliar menjadi Rp130,91 miliar. Begitu pun dengan pendapatan jalan tol yang turun dari Rp220,98 miliar menjadi Rp177,69 miliar. Berikutnya, pendapatan hotel menurun dari Rp18,57 miliar menjadi Rp12,62 miliar. Jika pada tahun lalu WSKT mengantongi pendapatan sewa gedung dan peralatan sebesar Rp541,33 juta, tahun ini pendapatan tersebut nihil.

Kendati begitu, ada beberapa sumber pendapatan yang tercatat naik, misalnya pendapatan properti yang meningkat dari Rp96,20 miliar menjadi Rp233,92 miliar. Pendapatan dari penjualan infrastruktur lainnya juga meningkat dari Rp24,46 miliar menjadi Rp122,19 miliar. Selain itu, WSKT juga mendapat tambahan pendapatan dari bunga jasa konstruksi sebesar Rp134,66 miliar, di mana ini tidak didapatkan pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, sepanjang semester I 2020 ini, beban pendapatan WSKT mengalami penurunan. Pada Juni 2019, beban pendapatan tercatat sebesar Rp11,88 triliun, sedangkan pada Juni 2020 angkanya turun menjadi Rp6,97 triliun. Hal serupa juga terjadi di pos liabilitas jangka pendek WSKT turun dari Rp45,02 triliun pada Juni 2019 menjadi Rp36,89 triliun pada Juni 2020. Berbanding terbalik, total liabilitas jangka panjang WSKT justru mengalami kenaikan dari Rp48,45 triliun pada 2019 menjadi Rp51,35 triliun pada 2020.

2. PTPP (-95,36%)

Emiten BUMN konstruksi berikutnya, yaitu PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) juga kehilangan banyak keuntungan pada semester I 2020. Sampai dengan akhir Juni 2020, laba bersih PTPP tercatat sebesar Rp15,95 miliar. Angka tersebut turun 95,36% dari capaian Juni 2019 yang mencapai Rp343,72 miliar.

Anjloknya laba bersih tersebut selaras dengan koreksi laba kotor PTPP sebesar 49,96% dari Rp1,41 triliun pada 2019 menjadi Rp705,69 miliar pada 2020. Bagaimanapun, pendapatan yang dihimpun PTPP terkoreksi 36,56% pada periode tersebut dari Rp10,64 triliun menjadi hanya Rp6,75 triliun. 

Baca Juga: PTPP Berhasil Kantongi Kontrak Baru Rp10 T per Juli

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, hampir semua sumber pendapatan PTPP anjlok pada paruh pertama tahun ini. Kontributor terbesar pendapatan PTPP berasal dari jasa konstruksi sebesar Rp5,33 triliun pada Juni 2020, itu pun menurun drastis dari Juni 2019 lalu yang mencapai Rp8,60 triliun. Penurunan juga terjadi di pendapatan EPC dari Rp912,53 miliar menjadi Rp397,01 miliar.

Begitu pun juga dengan pendapatan sewa peralatan yang turun dari 113,97 miliar menjadi Rp65,67 miliar dan pendapatan energi turun dari Rp76,34 miliar menjadi Rp45,84 miliar. Pendapatan PTPP dari properti dan realti juga turun walau tak signifikan, yaitu dari Rp894,72 miliar menjadi Rp818,61 miliar.

Bersamaan dengan itu, PTPP membukukan penurunan beban pendapatan dari Rp9,23 triliun menjadi Rp6,04 triliun. Meski begitu, pendapatan PTPP tertekan seiring dengan naiknya beberapa pos beban, yakni beban keuangan dari Rp291,46 miliar menjadi Rp374,31 miliar dan juga beban cadangan kerugian penurunan nilai dari Rp37,86 miliar menjadi Rp94,72 miliar.

Di sisi lain, jumlah liabilitas PTPP tercatat sebesar Rp39,92 triliun yang terdiri atas liabilitas jangka pendek sebesar Rp27,82 triliun dan liabilitas jangka panjang Rp12,1 triliun.

3. Adhi Karya (-94,76%)

PT Adhi Karya Tbk (ADHI) menempati posisi ketiga sebagai BUMN konstruksi yang labanya amblas paling dalam. Pada semester I 2020, ADHI mengantongi laba bersih sebesar Rp11,27 miliar, turun 94,76% dari capaian semester I 2019 lalu yang sebesar Rp215 miliar. Hal itu tidak lepas dari amblasnya laba usaha ADHI sebesar 19,75% menjadi sebesar Rp414,10 miliar.

Dalam laporan keuangan perusahaan, disajikan pendapatan ADHI selama enam bulan pertama tahun ini mengalami lonjakan 1,84% dari Rp5,43 triliun pada 2019 menjadi Rp5,53 triliun pada 2020. Sayangnya, beban pokok pendapatan ADHI membengkak 3,50% menjadi Rp4,73 triliun. Ditambah lagi, beban usaha ADHI juga mengalami kenaikan hingga 13,15% menjadi Rp381,89 miliar.

Jika ditelisik, jasa konstruksi merupakan kontributor terbesar terhadap pendapatan ADHI. Sampai dengan Juni 2020, ADHI mengantongi pendapatan dari segmen ini sebesar Rp4,48 triliun, meningkat dari capaian Juni 2019 lalu yang hanya Rp4,23 triliun. Pendapatan dari segmen investasi infrastruktur juga melonjak dari Rp195,13 miliar menjadi Rp396,45 miliar. 

Dua segmen lainnya yang menjadi kontributor pendapatan ADHI tercatat mengalami penurunan. Keduanya adalah pendapatan EPC turun dari Rp239,06 miliar menjadi Rp237,72 miliar dan pendapatan properti atau real estate turun dari Rp757,21 miliar menjadi Rp412,21 miliar. 

Sampai dengan akhir semester I 2020, ADHI membukukan total liabilitas sebesar Rp32,07 triliun. Angka tersebut naik dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp29,61 triliun. Liabilitas jangka pendek dan jangka panjang ADHI masing-masing mencapai Rp26,69 triliun dan Rp5,37 triliun pada paruh pertama tahun ini.

4. Wijaya Karya (-71,91%)

Walau tak separah lainnya, kinerja keuangan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) merosot tajam dalam enam bulan pertama tahun ini. Hal itu tercermin dari laba bersih WIKA yang mengalami kontraksi hingga 71,91% dari Rp890,88 miliar pada semester I 2019 menjadi Rp250,41 miliar. Capaian tersebut terimbas oleh anjloknya laba usaha WIKA pada periode tersebut sebesar 37,21% dari Rp1,72 triliun menjadi Rp1,08 triliun. 

Baca Juga: Semester I-2020, Kinerja WIKA Group Moncer

Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, pendapatan bersih WIKA hingga Juni 2020 mencapai Rp7,13 triliun. Angka tersebut menurun drastis sebesar 37,23% dari capaian Juni 2019 lalu yang mencapai Rp11,36 triliun. Jika ditelusuri, penurunan pendapatan infrastruktur dan gedung menjadi yang paling terkontraksi. Dari segmen ini, WIKA hanya mengantongi pendapatan sebesar Rp4,52 triliun per Juni 2020, menurun drastis dari Rp7,3 triliun per Juni 2019. 

Penurunan juga terjadi untuk pendapatan industri beton dari yang sebelumnya Rp1,63 triliun menjadi Rp1,37 triliun. Pendapatan dari segmen energi dan industrial plant juga amblas dari Rp1,87 triliun menjadi Rp980,25 miliar. Begitu pun juga dengan pendapatan segmen realty dan properti yang anjlok dari Rp556,07 miliar menjadi Rp264,11 miliar.

Pada saat yang bersamaan, beban pendapatan WIKA mengalami penurunan hingga 3,54% dari Rp10,02 triliun pada 2019 menjadi Rp6,46 triliun pada 2020. Kendati begitu, pendapatan dan laba WIKA menjadi tidak maksimal karena total beban yang ditanggung perusahaan membengkak nyaris 30%. Sampai dengan Juni 2020, WIKA menanggung total beban Rp737,04 miliar, lebih tinggi 27,06% dari Juni 2019 yang kala itu hanya sebesar Rp580,79 miliar. 

Total liabilitas perusahaan juga mengalami kenaikan, yakni sebesar 2,27% dari Rp42,89 triliun menjadi Rp43,87 triliun. Kenaikan liabilitas tersebut disumbang oleh meningkatnya liabilitas jangka pendek dari pihak berelasi dari Rp1,22 triliun menjadi Rp3,09 triliun.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: