Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Konsensus Global Urai Polemik Pengejaran PPh Perusahaan Digital

Konsensus Global Urai Polemik Pengejaran PPh Perusahaan Digital Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai pemerintah sudah tepat dengan menghindari langkah uniteral terkait pajak penghasilan (PPh) perusahaan global. 

Menurutnya, langkah unilateral seperti yang dipilih Prancis adalah tindakan yang sia-sia. Pasalnya ketika solusi multilateral nanti tercapai, otomatis semua tindakan unilateral yang dilaksanakan oleh beberapa negara akan dicabut.

Baca Juga: IPC-Ditjen Pajak Integrasikan Data Perpajakan Berbasis IT

“Opsi multilateral sudah hampir final. Memang rencananya tahun 2020 ini disepakati, tetapi karena Covid tertunda. Jadi ya, buat apa buat kebijakan jangka hanya untuk satu tahun saja, bahkan kurang. Belum lagi nanti dalam implementasinya perlu persiapan administrasi,” urainya saat dihubungi (18/11/2020).

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia akan menarik PPh dari perusahaan digital setelah disepakatinya konsensus global dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 pada pertengahan tahun mendatang. Dalam OECD/G20 Inclusive Framewwork, ada dua pilar dari konsensus pajak digital yang ditunda pembahasannya, yakni unified approach dan Global Anti Base Erosion (GloBE).

“Indonesia dalam hal ini akan tetap mendukung untuk terjadinya konsensus. Untuk perusahaan yang beroperasi lintas negara itu paling baik adalah melalui konsensus global karena nature dari operasi perusahaan-perusahaan itu memang lintas negara,” kata dia dalam Konferensi Pers: APBN KITA, yang dikutip dari channel Youtube Kemenkeu.

Sambung Sri Mulyani, nantinya Indonesia diuntungkan karena akan berhak untuk mendapatkan bagian dari pajak keuntungan perusahaan global. Pasalnya konsensus global akan memberikan rambu-rambu sekaligus prinsip-prinsip perpajakan yang akan membawa keadilan bagi setiap negara, terutama negara yang menjadi tempat pemasaran perusahaan-perusahaan global seperti Indonesia.

Fajry mengatakan bahwa saat nanti solusi multilateral sudah ada, yang harus dilakukan pemerintah selanjutnya adalah membikin kesepakatan, termasuk perubahan tax treaty untuk menyesuaikan definisi BUT. “Apalagi, sekarang sudah ada multilateral instrument (MLI) yang mempermudah hal tersebut.”

Asal tahu saja, dalam aturan tax treaty, negara konsumen baru bisa menarik pajak dari keuntungan perusahaan global yang berbasis di negara produsen jika terdapat bentuk usaha tetap (BUT), yang mengharuskan adanya physical presence atau kehadiran fisik di Indonesia. 

Hingga kini Indonesia belum bisa memajaki perusahaan global meski sebetulnya ada SE Ditjen Pajak No. SE-04/PJ.10/2017 dan PMK No. 35/PMK.03/2019. Bahkan pemerintah sudah mengatur pajak penghasilan dan pajak transaksi elektronik, juga konsep kehadiran aktivitas ekonomi yang signifikan (significant economic presence/SEP) melalui UU No. 2/2020. Namun, SEP dalam konteks global baru bisa diterapkan jika perjanjian multilateral yang dirumuskan OECD sudah final.

“Perusahaan raksasa yang bergerak di bidang digital tidak semua memiliki badan usaha tetap di Indonesia. Di sini pentingnya penegakan significant economic presence atau kehadiran aktivitas ekonomi yang signifikan,” papar Bhima Yudhistira, ekonom Indef, kepada Warta Ekonomi (19/11/2020). 

Dia melanjutkan, model bisnis digital semakin dinamis dan cross border. Artinya pemerintah harus perkuat kerja sama internasional agar tidak ada lagi celah penggelapan pajak. “Misalnya dengan kantor pusat perusahaan digital di negara tax haven.”

Soal konsensus OECD, Bhima bilang bahwa kerangkanya sudah cukup jelas, dan Indonesia bisa terlibat di dalamnya. Bahkan Indonesia justru bisa melakukan inisiatif agar menjadi best practice bagi negara lainnya. 

Baca Juga: Wujudkan Tata Kelola yang Baik, Pegadaian & DJP Lanjutkan Kerja sama Integrasi Data Perpajakan

“Pentingnya kerja sama OECD lebih bersifat pertukaran data wajib pajak, dan adanya kerja sama untuk mengurangi penghindaran pajak,” tukasnya.

Setidaknya ada 46 perusahaan global yang beroperasi di Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu sudah mulai menarik PPN dari perusahaan-perusahaan berikut.

No.

Nama Perusahaan

No.

Nama Perusahaan

1

Amazon Web Service Inc

24

Skype Communications SARL

2

Google Asia Pacific Pte Ltd

25

Twitter Asia Pacific Pte Ltd

3

Google Ireland Ltd

26

Twitter International Company

4

Netflix International BV

27

Zoom Video Communications Inc

5

Spotify AB

28

PT Jingdong Indonesia Pertama

6

Facebook Ireland Ltd

29

PT Shopee International Indonesia

7

Facebook Payments International Ltd

30

Alibaba Cloud (Singapura) Pte Ltd

8

Facebook Technologies International Ltd

31

GitHub Inc

9

Amazon.com Service LCC

32

Microsoft Regional Sales Pte Ltd

10

Audible Inc

33

UCWeb Singapore Pte Ltd

11

Alexa Internet

34

To The New Pte Ltd

12

Audible Ltd

35

Coda Payment Pte Ltd

13

Apple Distribution International Ltd

36

Nexmo Inc

14

Tiktok Pte Ltd

37

Cleverbridge AG Corporation

15

The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte Ltd

38

PT Fashion Eservices Indonesia (Zalora)

16

LinkedIn Singapore Pte Ltd

39

Hewlett-Packard Enterprise USA

17

McAfee Ireland Ltd

40

PT Tokopedia

18

Microsoft Ireland Operations Ltd

41

Softlayer Dutch Holdings B.V. (IBM)

19

Mojang AB

42

PT Global Digital Niaga (Blibli.com)

20

Novi Digital Entertainment Pte Ltd

43

PT Bukalapak.com

21

PCCW Vuclip (Singapore) Pte Ltd

44

Valve Corporation (Steam)

22

beIN Sports Asia Pte Limited

45

PT Ecart Webportal Indonesia (Lazada)

23

Google LLC

46

Microsoft Corporation

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: