Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lebih Baik Kenakan Cukai Ketimbang Longgarkan PPnBM

Lebih Baik Kenakan Cukai Ketimbang Longgarkan PPnBM Kredit Foto: Unsplash/Takahiro Taguchi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai pengenaan cukai lebih tepat dibandingkan pemberian insentif atau kelonggaran Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan listrik atau kendaraan bermotor yang rendah emisi karbon.

"Menurut hemat kami cukai atas kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi karbon lebih sesuai dengan teori, mudah diadministrasikan, dan tepat sasaran, dibanding pemberian insentif berupa pengenaan PPnBM lebih rendah terhadap kendaraan dengan emisi karbon rendah atau ramah lingkungan," ujar Yustinus dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Jakarta, Selasa (12/3/2019).

Baca Juga: Samsat Jakbar Buru Orang Kaya yang Ogah Bayar Pajak Mobil Mewah


Menurut Yustinus, skema yang tepat untuk mengurangi emisi karbon yang ditimbulkan kendaraan bermotor adalah dengan mengenakan cukai atas kendaraan bermotor. Cukai adalah "Pigouvian Tax" atau pajak untuk mengurangi eksternalitas negatif. Ia adalah instrumen yang tepat karena karakteristik objek cukai antara lain konsumsinya harus dibatasi atau dikendalikan dan memiliki dampak negatif.

"Beberapa negara telah mengenakan cukai atas emisi karbon. Skemanya, semakin rendah emisi karbon maka cukai semakin rendah dan sebaliknya. Pengenaan cukai atas emisi karbon ini sering disebut 'double dividend' karena selain mendatangkan tambahan penerimaan negara, juga mendorong kelestarian lingkungan," kata Yustinus.

Instrumen lain yang dapat digunakan adalah PPnBM. PPnBM diatur dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bertujuan mengatur konsumsi atas barang yang bersifat mewah demi memenuhi rasa keadilan masyarakat, berbeda dengan cukai yang mengatur eksternalitas negatif.

Pengelompokan barang-barang yang dikenai PPnBM terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut, di samping didasarkan pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.

"Tarif tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dapat dikonsumsi masyarakat berpenghasilan tinggi," ujarnya.

Yustinus mengatakan, pada prinsipnya ide memberikan insentif terhadap setiap upaya pengurangan emisi karbon telah menjadi tren global dan dipraktikkan banyak negara maju. Hal ini juga sejalan dengan upaya menjaga lingkungan hidup, mengantisipasi dampak perubahan iklim, dan menciptakan lingkungan yang berdaya lanjut bagi ekosistem. Rencana Pemerintah untuk mengatur ini patut diapresiasi.

Dalam praktiknya, terdapat beberapa alternatif skema insentif yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, disesuaikan dengan konteks tiap negara, tantangan fiskal, dan ketersediaan regulasi.

"Para prinsipnya insentif yang ada harus dapat mendorong industri yang ramah lingkungan dan menjadi disinsentif bagi industri atau praktik yang menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan," ujar Yustinus.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: