Sejak beberapa tahun terakhir, industri perkebunan kelapa sawit nasional telah mendapatkan perlakuan diskriminasi dari pihak antisawit terutama Uni Eropa.
Melalui kebijakan Delegated Regulation (DR) dan Renewable Energy Directive II (RED II), Komisi Uni Eropa menggolongkan minyak sawit sebagai high risk Indirect Land Use Change (ILUC) karena produksi minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel dianggap menyebabkan terjadinya konversi hutan atau lahan dengan stok karbon tinggi untuk lahan produksi pangan/pakan.
Baca Juga: Peringatan Presiden Jokowi Meskipun Ekspor Pertanian Alami Peningkatan Berkat Sawit
Implikasinya, penggunaan minyak sawit sebagai feedstock biodiesel Uni Eropa akan dikurangi secara drastis dan harus di-phase-out pada 2030 mendatang.
Indonesia dan Malaysia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia yang memasok sekitar 85 persen terhadap permintaan di seluruh dunia. Meskipun Uni Eropa terus menyerang kelapa sawit, namun Uni Eropa telah menjadi pembeli terbesar kedua minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia setelah India. Saat ini, Uni Eropa mengonsumsi 7,5 juta ton minyak sawit per tahun atau sekitar 10 – 15 persen dari permintaan minyak sawit global.
Menanggapi tindakan diskriminasi tersebut, pemerintah Indonesia pada Desember 2019 telah mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa ke WTO dengan alasan pembatasan biofuel berbasis minyak sawit tidak adil dan meminta konsultasi dengan blok perdagangan tersebut. Namun, konsultasi yang diadakan pada 19 Februari 2020 lalu telah gagal menyelesaikan perselisihan dan mengarah pada pembentukan panel untuk meneliti masalah tersebut lebih lanjut.
Tak tinggal diam, Malaysia yang sebelumnya bersama negara-negara produsen sawit di dunia seperti Kolombia, Ekuador, Guatemala, Thailand, Australia, Brasil, Amerika Serikat, Kosta Rika dan India, serta negara bukan produsen seperti China, Kanada, Singapura, Korea Selatan, Turki, Norwegia, Rusia, Argentina, dan Jepang hanya mengawasi gugatan Indonesia terhadap Uni Eropa tersebut, juga akan mengajukan gugatan secara bertahap ke WTO pada 15 Januari mendatang.
Menteri Industri dan Komoditas Perkebunan Malaysia, Mohd Khairuddin Aman Razali mengatakan, Malaysia akan terus melawan segala tindakan diskriminatif yang mengancam ekonomi negara dan mata pencaharian rakyatnya.
“Tindakan hukum sedang dalam proses. Kami telah membawa memorandum ke kabinet dan telah setuju untuk mengambil tindakan terhadap UE atas rencana terakhir untuk membatasi dan menghentikan impor minyak sawit yang kami anggap diskriminatif. Kami akan mengajukan tindakan hukum akhir pekan ini pada 15 Januari," ujarnya dalam konferensi pers di Palm Oil Economic Review and Outlook Virtual Conference 2021, Senin (11/1/2021).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: