Kisah Perusahaan Raksasa: Target, Peritel Gila Diskon yang Punya Cuan USD3,8 Miliar
Target Corporation adalah salah satu perusahaan ritel papan atas Amerika Serikat. Peritel terbesar kedelapan di AS ini adalah pesaing utama dari Walmart dan Amazon, yang keduanya merupakan pengecer terbesar pertama dan kedua.
Peritel raksasa yang memiliki markas pusat di Minnesota ini memiliki cabang sebanyak lebih dari 1.600 toko. Barang dagangannya adalah kebutuhan-kebutuhan umum dengan banyak diskon dalam banyak produknya.
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: Airbus, Bisnis Burung Besi Eropa yang Mendominasi Dunia
Target telah membuat taruhan besar dalam memperbarui merek, merobak toko, dan menyelenggarakan upaya e-niaga di tengah persaingan ketat. Dalam praktiknya, kesemuanya itu telah terbayar dengan sangat baik.
Kekuatan finansial Target di tahun 2019 tercatat cukup fantastis dengan kenaikan 4,8 persen pada pendapatannya menjadi 75,35 miliar dolar AS dari tahun 2018. Sementara itu untuk keuntungan dan asetnya masing-masing di angka 2,93 miliar dolar dan 41,29 miliar dolar dalam tahun itu.
Untuk 2020 sendiri, Target sukses membukukan pendapatan sebesar 88,62 miliar dolar. Di sisi lain, laba bersihnya pun ikut naik menjadi 3,82 miliar dolar. Untuk market valuenya sendiri, Target sukses mencatatkan angka 94,29 miliar dolar. Singkatnya, kondisi keuangan Target membaik, serta posisinya dalam daftar pemeringkat perusahaan terkaya Fortune Global 500 di urutan ke-117.
Berikut ini ulasan kisah perusahaan raksasa Target yang bakal diulas Warta Ekonomi, Senin (1/2/2021) pada artikel berikut.
Bisnis Target Corporation pertama kali dimulai pada 1902 oleh George Dayton. Korporasi ini awalnya bernama Goodfellow Dry Goods pada Juni 1902 sebelum berganti nama menjadi Dayton's Dry Goods Company pada 1903. Lebih lanjut perusahaan mengganti namanya kembali pada 1910 sebagai Dayton Company.
Dayton mengoperasikan perusahaan tersebut sebagai perusahaan keluarga. Ia sendiri yang memegang kendali ketat dan menerapkan pedoman Presbyterian yang ketat pula.
Presbiterianisme adalah bagian dari tradisi reformasi Protestantisme yang berasal dari Inggris Raya, khususnya Skotlandia. Akibatnya, toko-toko milik Dayton melarang penjualan alkohol, menolak iklat di surat kabar yang mensponsori minuman keras, dan tidak mengizinkan segala jenis aktivitas bisnis pada hari Minggu.
Dayton Company bertransformasi menjadi bisnis jutaan dolar (14 juta dolar AS) yang menempati gedung enam lantai di tahun 1920-an. Sebelum wafat pada 1938, Dayton mentrasnfer sebagian bisnis kepada putranya Nelson (43).
Di tangan anaknya, Nelson, perusahaan itu melakukan ekspansi pertamanya dengan mengakuisisi toko perhiasan JB Hudson & Son tepat sebelum Wall Street Crash tahun 1929.
Pada tahun 1956, Dayton membuka Southdale Center, pusat perbelanjaan dua tingkat di pinggiran kota Minneapolis, Edina. Karena hanya ada 113 hari belanja dengan cuaca bagus dalam setahun di Minneapolis, perusahaan membangun mal dalam ruangan, sehingga menjadikannya pusat perbelanjaan tertutup pertama di dunia. Perusahaan Dayton menjadi jaringan ritel dengan pembukaan department store keduanya di Southdale.
Setelah pendiriannya, perusahaan kembali mendirikan ritel diskon lain pada 1962, mengincar Roseville, Minnesota sebagai unit pertama. Di tahun 1966, Dalton memasuki pasar buku ritel ditandai dengan dibukanya B. Dalton Bookstores.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: