Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tutup Mulut Para Pengkritik, Junta Myanmar Keras Blokir Facebook

Tutup Mulut Para Pengkritik, Junta Myanmar Keras Blokir Facebook Para biksu Buddha memegang plakat saat mereka berpartisipasi dalam unjuk rasa yang memprotes hasil pemilu oleh pendukung militer Myanmar dan Partai Persatuan dan Pembangunan yang didukung oleh militer di dekat pagoda Shwedagon Sabtu, 30 Januari 2021, di Yangon, Myanmar. Militer Myanmar telah membantah bahwa pernyataan kontroversial dari pimpinannya dimaksudkan sebagai ancaman untuk melakukan kudeta, mengklaim media telah salah menafsirkan kata-katanya. Ketegangan politik meningkat seminggu terakhir ini setelah militer mengatakan tidak dapat mengesampingkan kudeta jika keluhannya tentang kecurangan suara yang meluas dalam pemilihan November lalu diabaikan. | Kredit Foto: AP Photo/Thein Zaw
Warta Ekonomi, Yangon -

Junta Myanmar memblokir Facebook dan aplikasi perpesanan lainnya dengan dalih memastikan stabilitas.

Saat ini junta mengkonsolidasikan kekuasaan setelah kudeta dan menahan Pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.

Baca Juga: 3 Dekade Kudeta Militer yang Sukes Buang Burma dan Lahirkan Myanmar, Bagaimana Prosesnya?

Langkah membungkam para aktivis online dilakukan setelah polisi Myanmar mengajukan tuntutan terhadap Peraih Nobel Perdamaian Suu Kyi karena mengimpor peralatan komunikasi secara ilegal.

Bersamaan dengan itu, tekanan internasional meningkat pada junta untuk menerima hasil pemilu November yang dimenangkan partai Suu Kyi secara telak.

Di Myanmar, penentangan terhadap junta muncul dengan sangat kuat di Facebook yang merupakan platform internet utama di negara itu.

Selama ini, Facebook mendukung komunikasi untuk bisnis dan pemerintah di Myanmar.

Orang-orang di Yangon dan kota-kota lain memukul panci dan wajan serta membunyikan klakson mobil selama malam kedua pada Rabu sebagai protes terhadap kudeta Senin.

Gambar-gambar protes pun telah beredar luas di Facebook.

Jejaring sosial itu juga telah digunakan untuk berbagi gambar kampanye ketidakpatuhan oleh staf di rumah sakit pemerintah di penjuru negeri.

Para petugas medis menuduh militer menempatkan kepentingannya di atas wabah virus corona yang telah menewaskan lebih dari 3.100 orang, salah satu korban meninggal tertinggi di Asia Tenggara.

Kementerian Komunikasi dan Informasi Myanmar mengatakan Facebook yang digunakan setengah dari 53 juta rakyat Myanmar, akan diblokir hingga 7 Februari.

"Saat ini orang-orang yang mengganggu stabilitas negara menyebarkan berita palsu dan informasi yang salah dan menyebabkan kesalahpahaman di antara orang-orang dengan menggunakan Facebook," papar Kementerian Komunikasi.

Namun blokir itu tidak merata. Beberapa orang menemukan bahwa mereka masih dapat mengakses Facebook meskipun koneksinya lambat.

Beberapa orang menggunakan VPN untuk menghindari blokir pemerintah tersebut.

Suu Kyi tidak terlihat sejak penangkapannya pada Senin dini hari bersama dengan para pemimpin teratas Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpinnya.

Seorang pejabat NLD mengatakan dia menjalani tahanan rumah di ibu kota, Naypyidaw, tetapi belum ada kabar tentang keberadaannya dari junta.

NLD memenangkan sekitar 80% suara dalam pemilu 8 November, menurut komisi pemilu. Hasil itu ditolak oleh militer dengan alasan tuduhan penipuan yang tidak berdasar.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan akan meningkatkan tekanan internasional untuk memastikan keinginan rakyat dihormati.

"Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk memobilisasi semua aktor kunci dan komunitas internasional untuk memberikan tekanan yang cukup pada Myanmar untuk memastikan bahwa kudeta ini gagal," tegas Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres dalam wawancara yang disiarkan The Washington Post pada Rabu.

“Ini benar-benar tidak dapat diterima setelah pemilu-pemilu yang saya yakini berlangsung normal, dan setelah periode transisi yang besar,” ungkap Guterres.

Menangani kudeta di Myanmar adalah prioritas bagi Amerika Serikat. Washington sedang meninjau kemungkinan sanksi sebagai tanggapannya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: