CIPS: Pemerintah Perlu Perkuat Aturan Perlindungan Konsumen Di Industri P2P Lending
Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ajisatria Suleiman mengatakan, upaya untuk memperkuat sinergi antara regulasi pemerintah dan perlindungan konsumen peer to peer (P2P) lending sangat penting untuk dilakukan.
Perlindungan konsumen diperlukan untuk memberikan rasa aman dan menjaga kepercayaan mereka dalam bertransaksi dengan lembaga ini.
Baca Juga: CIPS: Capaian Ekonomi Digital Jadi Momentum Tingkatkan Penetrasi Digital
Rasa aman dan kepercayaan tersebut akan menumbuhkan industri keuangan akibat pandemi. Hal ini dapat menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan para konsumen.
Ajisatria menambahkan, P2P lending berpeluang turut menyediakan layanan jasa keuangan ke lapisan masyarakat yang belum tersentuh oleh layanan jasa keuangan konvensional, seperti misalnya bank.
Akses ke ponsel dan internet dapat membantu mengatasi masalah yang terkait dengan layanan keuangan tradisional. Dua pertiga masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rekening bank memiliki akses ke telepon seluler, yang berarti mereka berpotensi dapat mengakses layanan keuangan digital, termasuk P2P lending dan produk financial technology (fintech) lainnya.
”Studi kami di 2019 tentang fintech juga sudah menggambarkan bahwa inovasi ini mengarah pada inklusi keuangan yang lebih besar bagi populasi yang tidak bankable. P2P lending memberikan kesempatan kepada masyarakat Indonesia yang tidak memiliki rekening bank untuk mengakses pinjaman dengan persyaratan yang lebih sederhana daripada kredit mikro dari bank tradisional dan tanpa harus pergi ke bank,” jelasnya, Selasa (16/3/2021).
Hal ini terutama menguntungkan kelompok berpenghasilan rendah, mereka yang berada di daerah pedesaan serta usaha mikro dan kecil. Pada saat yang sama, tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengalaman dengan layanan keuangan dan akses yang terbatas ke mekanisme pengaduan yudisial atau ekstra-yudisial membuat kelompok-kelompok berpenghasilan rendah ini lebih berisiko terhadap penipuan atau praktik peminjaman predator.
Praktik peminjaman predator mencakup suku bunga yang berlebihan, praktik penagihan utang yang agresif, dan penyalahgunaan data pribadi konsumen. Beberapa kasus pinjaman predator telah banyak dipublikasikan dan bahkan menyebabkan keresahan sosial.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Alfi Dinilhaq