Sempat Dianggap Tiru Suharto, Kudeta Junta Myanmar Malah Menyimpang dari Jalan Indonesia!
Pada bulan Maret, enam minggu setelah militer di Myanmar melakukan kudeta yang mengejutkan, komandan militer Indonesia menawarkan untuk berbagi dengannya “pengalaman Jakarta dalam membangun angkatan bersenjata profesional dalam konteks demokrasi.”
Tawaran bermaksud baik Panglima Udara Marsekal Hadi Tjahjanto diabaikan. Militer Myanmar, yang beberapa dekade lalu mengirim perwira untuk belajar dari Indonesia, tidak menginginkan pelajaran untuk menghadapi transisi dari negara otoriter ke negara demokratis. Militer Indonesia, setelah kejatuhan Suharto yang dramatis pada tahun 1998, melakukan apa yang perlu dilakukan Tatmadaw Myanmar (tetapi tidak akan), yakni melepaskan peran terbuka dalam politik.
Baca Juga: Myanmar Bukan Suriah: Aktivis Veteran Akui Perang Saudara Myanmar Telah Dimulai
Setelah kudeta 1 Februari yang menghancurkan demokrasi Myanmar yang masih muda, junta telah berpaling dari Indonesia dan malah melihat Thailand sebagai model potensial. Sepuluh hari setelah kudeta, sang pimpinan yaitu Jenderal Min Aung Hlaing meminta bantuan negara itu untuk "mendukung demokrasi". Dari jenderal yang menjadi Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, yang pada tahun 2014 melakukan kudeta yang menggulingkan perdana menteri Thailand yang terpilih secara demokratis, itulah Myanmar belajar.
Setelah kudeta Thailand, Prayut memperkuat dirinya dalam kekuasaan melalui sistem politik yang diperlengkapi ulang. Mekanisme politik inilah yang memungkinkannya menangkis seruan untuk mundur dan yang membuat Thailand menjadi apa yang oleh sarjana Paul Chambers disebut sebagai "demokrasi semu", dalam artikel tulisan kolumnis Richard Borsuk, yang dimuat pada The Diplomat, Selasa (20/4/2021).
Yang menarik, Thailand tidak mengkritik kudeta tersebut. Ia malah menyebutnya sebagai urusan internal Myanmar, tetapi Indonesia telah dengan tegas mengkritiknya dan pembunuhan brutal oleh Tatmadaw, sebutan untuk militer Myanmar, dan menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi.
Dan orang Indonesia, tidak seperti orang Thailand, tidak mengikuti upacara Hari Angkatan Bersenjata Myanmar di Naypyidaw pada 27 Maret --hari saat lebih dari 100 warga sipil tak bersenjata ditembak mati.
Di Indonesia, militer harus menerima dan menanggapi hilangnya popularitas ketika Suharto, purnawirawan jenderal yang menjadi pilar pendukungnya selama 32 tahun, kehilangan kekuasaan. Di Myanmar, ketika Tatmadaw mengatakan bahwa pembubaran partai proksi pada pemilihan November tahun lalu adalah karena penipuan, bukan penolakan publik, tidak ada katalisator untuk mendorong perubahan dari pemikiran yang mengakar.
"Tatmadaw masih memegang persepsi bahwa hanya itu yang bisa menyatukan negara," kata pensiunan Letnan Jenderal Agus Widjojo, tokoh kunci di balik reformasi besar-besaran di militer Indonesia setelah jatuhnya Suharto. Tentara Myanmar, menurutnya, pada dasarnya adalah "di mana Indonesia berada pada tahun 1980-an".
Dengan kelonggaran waktu itu, tidak ada kemungkinan Myanmar bisa belajar dari jatuhnya Suharto, yang kehilangan popularitas dengan cepat di tengah penderitaan yang berakar pada krisis keuangan Asia 1997-98 dan kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menewaskan ratusan orang.
Reformasi tentara Indonesia pasca-Suharto “memberi Myanmar banyak model yang berguna, tetapi mereka hanya tertarik pada model pra-1998,” kata Leonard Sebastian, koordinator program Indonesia di Sekolah Studi Internasional (RSIS) S.Rajaratnam di Singapura.
Sekilas tentang beberapa aspek sejarah tentara Indonesia dan Myanmar, dan jalan yang diambil negara-negara dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan mengapa pada suatu waktu Tatmadaw tertarik untuk belajar dari Jakarta, tetapi setelah Indonesia secara tegas menjauh dari otoritarianisme, jatuhkan itu sebagai seorang mentor.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: