Dunia penulisan menjadi tidak menarik sebagai bidang pekerjaan karena penulis maupun pelaku perbukuan lainnya kehilangan potensi pendapatan dari karya mereka.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2017 telah menjamin keberadaan 10 pelaku perbukuan. Mereka yang menggantungkan hidup dalam subsektor industri kreatif ini adalah para profesional yaitu penulis,penerjemah, penyadur, editor, desainer, dan ilustrator; serta badan usaha berupa percetakan, pengembang buku elektronik, penerbit, dan toko buku.
Pada 2019, Ikapi menerima laporan tentang pelanggaran hak cipta dari 11 penerbit. Nilai potensi kerugian hanya dari 11 penerbit saja akibat pelanggaran hak cipta mencapai angka Rp116,050 miliar.
Angka kerugian sesungguhnya di industri ini tentu lebih besar mengingat jumlah anggota Ikapi pada 2019 berkisar 1.600 penerbit dan telah bertambah menjadi 1.900 pada April 2021. Ini belum termasuk penerbit anggota organisasi lain, misalnya Afiliasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI).
Perkembangan teknologi sesungguhnya membuka peluang bagi industri perbukuan untuk menemukan cara baru berjualan. Penerbit bisa langsung menjual produk mereka melalui toko-toko daring (webstore) milik sendiri maupun lewat akun-akun mereka di lokapasar seperti Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Blibli, JD.ID, dan sejenisnya. Namun, ketika memasuki lokapasar, para penerbit juga harus berhadapan dengan maraknya penjualan buku bajakan.
“Ikapi telah bersepakat dengan asosiasi yang menaungi lokapasar, yaitu IdEA, untuk mencari penyelesaian masalah pembajakan ini,” kata Arys.
Berdasarkan riset Ikapi, sebanyak 54,2 persen penerbit menemukan buku bajakan dari karya mereka dijual melalui lokapasar daring pada masa pandemi Covid-19. Selain itu, sebanyak 25 persen penerbit juga menemukan pelanggaran hak cipta berupa pembagian pdf buku secara gratis, dan 20, persen penerbit menemukan penjualan buku bajakan dalam bentuk pdf di lokapasar daring. Rata-rata pedagang buku bajakan di lokapasar menawarkan seperlima dari harga buku orisinal. Mereka pun telah mereduksi nilai buku hanya sebagai produk komoditas biasa.
Rating penjualan tidak lagi mempertimbangkan konten dan orisinalitas buku, melainkan sekadar kecepatan pengiriman atau kualitas pengemasan.Penerbit mengalami kendala saat menangani para penjual buku bajakan tersebut. Kendati lokapasar daring menyediakan mekanisme pelaporan produk bajakan dan bersedia menghapus tayangan buku yang diadukan, buku-buku bajakan tersebut akan dengan mudah tampil kembali melalui akun-akun penjualan lain.
Melalui saluran digital, pembajakan telah tumbuh dalam skala industri dengan stokpara penjual dapat mencapai ribuan eksemplar per judul.
Di dunia perbukuan, penerbit yang sebagian besar merupakan usaha kecil dan menengah (UKM) seakan harus berhadapan dengan perusahaan unicorn dan decacorn.
Penerbit tidak bisa mengadukan lokapasar daring sebagai pelanggar hak cipta walaupun mereka memfasilitasi penjualan buku bajakan. Surat Edaran Menkominfo Nomor 5/2016 menyediakan ketentuan safe harbour yang membebaskan mereka dari tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan pedagang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: