Lemahnya Keyakinan Diri Perempuan Berkarir dalam Industri Pers Akibat Ketimpangan Gender
Hal tersebut kemudian berimbas pada kepercayaan diri mahasiswi untuk sukses berkarir di bidang jurnalisme.
"Mahasiswi percaya bisa bekerja sebagai jurnalis, tetapi kurang percaya bisa menduduki posisi puncak karir," ujar Nurul.
Nurul menjelaskan efikasi diri pada perempuan dipengaruhi oleh berbagai stereotip yang seringkali dilekatkan pada perempuan. Dalam penelitian tersebut, stereotip yang dialami perempuan terfokus pada dua hal, stereotip kultural dan psikologis.
Stereotip kultural cenderung memandang perempuan lebih cocok untuk pekerjaan domestik. "Perempuan mengakui pekerjaan domestik itu menjadi penghalang. Sementara laki-laki, bahkan dalam proses belajar mengajar di kelas mereka cenderung dipilih sebagai ketua kelas. Itu artinya dari sana pun sudah dibentuk," tuturnya.
Sementara stereotip psikologis cenderung membentuk persepsi bahwa perempuan lebih mengedepankan perasaan sehingga dianggap kurang memenuhi kriteria jurnalis yang membutuhkan sikap rasional. Sedangkan label rasional itu sendiri selalu diberikan kepada kaum laki-laki.
"Jadi, jurnalis dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan sifat-sifat maskulin," tambah Nurul.
Pemaparan tersebut diamini oleh anggota Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bidang Gender, Anak, dan Marjinal, Evi Mariani. Evi mengungkapkan dalam realitas profesi jurnalis itu sendiri masih banyak ketimpangan yang dialami kaum perempuan.
Salah satunya, perempuan cenderung sulit menerima promosi jabatan karena berbagai alasan, termasuk dipandang tidak mampu memenuhi tanggung jawab pekerjaan jurnalis atau sudah mengundurkan diri dari jabatan sebelum dipromosikan.
"Padahal sifat tuntutan pekerjaan itu sangat tidak menimbang peran ganda perempuan. Ketika akhirnya yang dipromosiin laki-laki semua, yang salah siapa? Perempuan lagi. Karena enggak mau, enggak mampu, keluar duluan," tukas Evi.
Evi mengapresiasi para peneliti yang mengangkat isu mengenai pengalaman perempuan dalam bidang jurnalisme ini. Penelitian ini sendiri diharapkan bisa menjadi pemantik urgensi bagi manajemen media untuk menciptakan ruang dan budaya kerja yang ramah kepada perempuan.
"Riset ini penting karena yang paling basic aja keseimbangan gender itu saya sendiri mengalami lumayan berat. Banyak perempuan keren yang akhirnya mental karena enggak didukung, enggak ada support system-nya," tutur Evi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: