- Home
- /
- Kabar Finansial
- /
- Bursa
Proses Hukum Jiwasraya-Asabri Dinilai Jadi Bukti Indonesia Tidak Ramah Investor
Senada Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Muhammad Fatahillah Akbar menyebut jika penegakan hukum yang salah bisa mempengaruhi ekosistem pasar modal ataupun dunia investasi sebuah negara. Ia lantas mencontohkan ketika penegak hukum melakukan penyidikan ke lembaga-lembaga tertentu, otomatis saham perusahaannya pun terdampak ikut jatuh.
"Untuk itulah bagaimana pasar modal dan penegakan hukum itu harus berintegrasi. Seharusnya kalau ada penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana di sebuah perusahaan atau yang menyangkut pasar modal, seharusnya prinsip good corporate governancenya tetap harus dijaga," kata Akbar.
Kasus penyitaan aset dalam kasus Asabri-Jiwasraya ini pun mirip dengan kasus First Travel. Di mana sebanyak 1000 calon jamaah umrah dirugikan dalam kasus tersebut. "Sekarang uang para jamaah itu di mana? Uangnya dirampas untuk negara, sesuatu hal yang luar biasa melanggar hak asasi manusia. Apa logikanya hingga uang dalam kasus first travel itu harus dirampas untuk negara?," ujarnya.
Baca Juga: Pakar Menduga Terjadi Kesalahan Verifikasi Aset dalam Kasus Jiwasraya-Asabri
Kondisi itu, kata Akbar membuktikan bahwa Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP itu masih sangat lemah, karena tidak memiliki prosedur penyitaan pada aset yang tersebar secara kompleks. Ia menegaskan, dalam pasal 39 sampai 49 KUHAP menyebut bahwa penyitaan hanya bisa dilakukan jika keputusan sudah berkekuatan hukum tetap.
"Ini dipertegas dalam pasal 18-19, yang mengatakan penyitaan terhadap aset dalam pembayaran uang pengganti dilakukan 1 bulan, ketika tidak dibayar 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap," ujarnya.
Akbar pun kembali memberikan contoh upaya hukum yang dilakukan KPK dalam kasus M Nazaruddin. "Dalam penanganan kasus tersebut, KPK tidak melakukan pembekuan investasi Nazaruddin di saham Garuda Indonesia, kenapa? Saat itu pertimbangannya adalah, jika dibekukan kemungkinan akan merugikan Garuda dan pasar modal sekaligus makin merugikan negara juga. Ini adalah metode improvisasi dari KPK yang saya rasa harus ditiru oleh Kejaksaan sebenarnya," imbuhnya.
Sementara kuasa hukum nasabah WanaArtha, Palmer Situmorang pun setuju jika penanganan kasus Asabri-Jiwasraya telah mengganggu iklim investasi Indonesia. "Yang pertama dilanggar oleh penyidik adalah tindakan penyitaan itu tidak pernah dilakukan dengan melibatkan atau setidaknya dengan sepengetahuan dari pemilik rekening. Bahkan sampai sekarang, hingga ada putusan pengadilan terhadap kasus tersebut, tetap tidak ada informasi apapun dari Kejaksaan. Cara seperti ini jelas melanggar KUHP," kata dia.
Baca Juga: Kuasa Hukum Sebut Kasus Jiwasraya Sebagai Bentuk Kriminalisasi
Menurut dia, cara-cara penanganan perkara Jiwasraya telah membuat para jaksa mengalami degradasi pemikiran objektif. "Pelanggaran ini luar biasa. Luar biasa keterlaluan. Zaman Pak Harto sekalipun tidak sekeras ini caranya. Sebab menurut pasal 19 UU Tipikor Nomor 31 tahun 1999, barang bukti yang bukan milik tersangka tidak dikenakan perampasan. Namun jaksa memaksa untuk dirampas, itu sudah jelas pelanggaran," ujarnya.
"Jadi apa yang telah dilakukan sita terhadap kekayaan atau aset WanaArtha lewat pasar modal yang termasuk hasil penjualan dan pembelian sahamnya adalah uang nasabah, itu jelas. Saya menduga, para jaksa ini hanya ingin terlihat ‘wah’ terlihat ‘hebat’. Padahal mereka lupa, yang mereka sita itu adalah hak orang-orang yang hingga kini masih menangis, lalu nasib mereka siapa yang menanggung? Bapak Jaksa, anda boleh bersembahyang 24 jam tetapi, namun ingatlah bahwa anda dengan sengaja menelantarkan orang lain yang tidak bersalah. Itu sungguh keliru! Hukum dunia boleh anda permainkan, tapi masih ada hukum yang lain yaitu hukum Tuhan," kata dia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri