Kejagung Masih Cari Tersangka Kasus Kredit Macet Rp4,7 Triliun di LPEI
Perkara kredit macet senilai Rp4,7 triliun pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) masih disidik tim penyidik Kejaksaan Agung. Penyidik berusaha keras mengumpulkan bukti terjadinya pidana guna menetapkan tersangka.
"Tim penyidik pada Direktorat Tindak Pidana Khusus masih memeriksa sejumlah saksi agar ditemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya sebagaimana dikutip, Jakarta, Minggu (3/10/2021).
Leo mengatakan ada empat saksi yang diperiksa terdiri dari empat direktur dan mantan direktur. Mereka adalah N selaku Direktur CV Multi Mandala, MAB selaku Direktur CV Inti Makmur, dan SBW selaku Dirut PT Kertas Basuki Rahmat.
"Ketiganya diperiksa terkait penerimaan fasilitas kredit dari LPEI kepada PT Kertas Basuki Rahmat dan PT Kemilau Harapan Prima,” kata Leo. Baca Juga: Anggap Wajar LPEI Defisit Rp4,7 Triliun, Faisal Basri Beberkan Alasannya...
Sedang seorang lagi adalah AS selaku mantan Direktur Pelaksana IV LPEI. Dia diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit pada debitur LPEI.
"Keterangan para saksi dibutuhkan untuk menemukan fakta apa yang didengar, dilihat dan dialaminya,” kata Leo.
Penyidikan dilakukan Kejagung karena LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada sembilan debitur, sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen risiko dalam posisi macet per tanggal 31 Desember 2019.
Kesembilan debut tersebut yakni Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
Leo menerangkan, LPEI di dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur atau perusahaan penerima pembiayaan diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik, sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39 persen.
Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun di mana jumlah kerugian tersebut penyebabnya adalah dikarenakan adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Baca Juga: Kejagung Didesak Periksa dua Mitranya dalam Kasus Asabri
Selanjutnya berdasarkan statement dilaporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).
"Kenaikan CKPN ini untuk men-cover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan diantaranya disebabkan oleh kesembilan debitur tersebut di atas," ucap Leo.
Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah S, Direktur Utama dari tiga perusahaan Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia.
Leo menegaskan, tim pengusul dari LPEI yang terdiri dari Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan, tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
"Akibatnya menyebabkan debitur, Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia, dikatagorikan collectibility 5 (macet) sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar ditambah denda dan bunga Rp107,6 miliar," tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman